Kian Tumpul Tanduk, Cermin Dibelah Banteng Ngamuk
Namun, jika memang ada mimpi seperti itu yang datang pada tidur Ibu Megawati, mungkin yang dimimpikan Mega adalah sembilan banteng kurus yang rakus melahap sembilan banteng gemuk penuh otot dan lemak, saking nyamannya hidup. Di realitas–kembali mengacu tafsir Nabi Yusuf AS–, itu artinya PDIP harus siap berhadapan dengan kekuatan yang tengah merunduk, sedia menerkam dan mengerkah mereka.
Mungkinkah jauh sebelum datangnya hari saat Pilkada Serentak 2024 dilangsung-kan, Ketua Umum Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), Megawati Soekarnoputri, bermimpi seperti Firaun Mesir, Rayan bin Walid, di masa Nabi Yusuf AS?
Dalam kisah versi Islam, Firaun Rayan bermimpi tentang tujuh ekor sapi gemuk yang dimakan oleh tujuh sapi kurus, sebuah simbol kemakmuran yang terancam dimangsa masa-masa sulit. Namun, jika memang ada mimpi seperti itu yang datang pada tidur Ibu Megawati, mungkin yang dimimpikan Mega adalah sembilan banteng kurus yang rakus melahap sembilan banteng gemuk penuh otot dan lemak saking nyamannya hidup. Di realitas—kembali mengacu tafsir Nabi Yusuf AS—Itu artinya PDIP harus siap berhadapan dengan kekuatan yang tengah merunduk, sedia menerkam dan mengerkah mereka.
Ketika Pilkada Serentak 2024 berlangsung, harapan besar mengiringi langkah PDI Perjuangan. Namun, hasil akhir berbicara lain. Partai dengan simbol banteng moncong putih itu harus menerima kenyataan pahit, kalah di banyak wilayah strategis. Kekalahan yang menjadi sinyal kuat bahwa roda politik terus berputar, tidak ada kekuatan yang abadi di puncak.
PDIP yang selama ini dikenal sebagai partai dominan, terutama di wilayah “kandang banteng” Jawa Tengah, menghadapi tantangan besar. Persaingan sengit dengan Koalisi Indonesia Maju (KIM) Plus, yang digawangi bekas Presiden Joko Widodo dan Presiden Prabowo Subianto, membuat Pilkada kali ini menjadi arena pertarungan kekuatan politik yang tidak biasa.
Kekalahan di Kandang Sendiri
Kekalahan PDIP di empat provinsi utama di Pulau Jawa dan satu provinsi strategis di Sumatera, yakni Sumut, menjadi sorotan utama. Di Banten, pasangan Airin Rachmi Diany-Ade Sumardi yang diusung PDIP bersama Golkar hanya mampu meraih 42,48 persen suara. Mereka kalah dari pasangan Andra Soni-Dimyati Natakusumah yang didukung KIM Plus dengan 57,52 persen suara berdasarkan hasil quick count Charta Politika.
Pasangan bacagub-bacawagub Jawa Barat (Jabar) dari PDIP Jeje Wiradinata dan Ronal Surapradja. (Foto: Antara/Raisan Al Farisi)
Di Jawa Barat, hasilnya bahkan lebih mengejutkan. Pasangan Jeje Wiradinata-Ronal Surapradja hanya memperoleh 9,10 persen suara, jauh di bawah pasangan Dedi Mulyadi-Erwan Setiawan dari KIM Plus yang meraih 61,16 persen. “Hasil ini menunjukkan lemahnya penetrasi PDIP di wilayah yang selama ini dikenal sebagai basis pemilih konservatif,” ujar pengamat politik dari Universitas Padjadjaran, Dadang Rahmat.
Namun, hantaman yang tepat menghajar PDIP di muka, datang dari Jawa Tengah, wilayah yang selama ini disebut “kandang banteng.” Pasangan Andika Perkasa-Hendrar Prihadi hanya mampu meraih 41,31 persen suara, kalah telak dari Ahmad Luthfi-Taj Yasin yang secara terbuka didukung Prabowo Subianto dengan perolehan 58,69 persen. Kekalahan di Jawa Tengah menandai pergeseran signifikan dalam peta politik nasional.
“Jawa Tengah bukan sekadar basis politik PDIP, tetapi simbol kekuatan historis partai ini. Kekalahan ini bukan hanya kekalahan angka, tetapi kekalahan simbolis yang sangat terasa,” kata Khoirul Umam, direktur IndoStrategic. Bahkan, menurutnya, kekalahan di “kandang banteng” menjadi tanda bahwa PDIP perlu melakukan reformasi strategi besar-besaran untuk menjaga relevansinya di politik nasional ke depan.
Ada Cawe-cawe dan Intervensi Alat Negara?
Hasil Pilkada serentak itu tidak hanya menyisakan kekecewaan bagi PDIP, tetapi juga melahirkan berbagai tuduhan. Ketua Umum PDIP, Megawati Soekarnoputri, menuding ada intervensi alat negara yang digunakan secara sistematis untuk mengalahkan kandidat dari partainya. “Demokrasi kita berada dalam ancaman besar. Ketika alat negara dipergunakan untuk memihak, keadilan menjadi korban,” ujar Megawati dalam sebuah pernyataan tegas di Jakarta.
Sekjen PDIP, Hasto Kristiyanto, memperkuat pernyataan Megawati dengan menyebut keterlibatan “Partai Cokelat,” istilah yang merujuk pada oknum di institusi kepolisian. “Banyak bukti yang menunjukkan adanya mobilisasi aparat untuk mendukung kandidat tertentu,” ujarnya. Direktur Eksekutif Indonesia Political Opinion (IPO), Dedi Kurnia Syah, juga menyoroti pengaruh Polri dalam Pilkada kali ini. “Polisi memiliki struktur yang memungkinkan mereka memobilisasi dukungan hingga tingkat desa,” kata Dedi.
Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto (kiri). (Foto: Inilah.com/Harris)
Tudingan itu tidak berhenti di wilayah-wilayah kalah. Di Jawa Timur, Sekretaris DPD PDIP, Sri Untari Bisowarno, menyebutkan adanya tekanan terhadap kepala desa untuk tidak mendukung kandidat PDIP. “Beberapa kepala desa bahkan mendapatkan ancaman pencopotan jika tidak mengikuti arahan tertentu,” kata Sri.
Sementara itu, pengamat politik Hanggoro Pamungkas dari LSI Denny JA menilai keterlibatan alat negara ini sulit dibuktikan secara langsung, tetapi dampaknya nyata. “Ketika pejabat daerah dimobilisasi untuk kepentingan kandidat tertentu, dinamika kompetisi menjadi tidak adil,” ujarnya.
Di tengah kekalahan di banyak wilayah, Jakarta masih menjadi secercah harapan bagi PDIP. Pasangan Pramono Anung-Rano Karno di tingkat quick count unggul tipis dengan 50,15 persen suara melawan pasangan Ridwan Kamil-Suswono yang meraih 39,25 persen. Namun, angka itu belum cukup untuk memastikan kemenangan dalam satu putaran.
“Kami yakin bisa memenangkan putaran pertama, tetapi harus bersiap untuk segala kemungkinan,” ujar Hasto. Namun, prediksi pengamat politik Zaki Mubarak berbeda. Ia melihat potensi besar bagi KIM Plus untuk mengerahkan seluruh sumber daya mereka di putaran kedua. “Ridwan Kamil memiliki logistik dan dukungan yang kuat. Jika ada putaran kedua, peluangnya sangat besar,” ujar Zaki.
Zaki juga menyebutkan bahwa karakter pemilih Jakarta yang cenderung pragmatis menjadi tantangan tersendiri. “Pemilih Jakarta sering kali melihat aspek-aspek personalitas dan logistik kandidat. Dalam hal ini, RK memiliki keunggulan,” kata dia.
Di sisi lain, isu politik uang juga menjadi sorotan dalam Pilkada Jakarta. Beberapa laporan menyebutkan adanya pembagian sembako dan amplop menjelang hari pemungutan suara. Ketua Tim Pemenangan RK-Suswono, Ahmad Riza Patria, menuding tindakan tersebut sebagai pelanggaran serius yang merugikan demokrasi.
Pembelaan dan Introspeksi PDIP
Meski mengalami kekalahan di berbagai daerah, Sekretaris DPD PDIP Jawa Timur, Sri Untari Bisowarno, menegaskan partainya tetap kuat. “Kami memenangkan 21 daerah di Jawa Timur. Ini menunjukkan bahwa PDIP masih menjadi pilihan masyarakat,” ujar Sri.
Pengamat politik dari Universitas Paramadina, Ahmad Khoirul Umam. (Foto: Antara).
Namun, pengamat politik Ahmad Khoirul Umam dari IndoStrategic menilai kekalahan PDIP di Jawa Tengah sebagai alarm keras bagi partai tersebut. “Dominasi mesin politik KIM Plus dan endorsement dari Jokowi serta Prabowo menjadi faktor kunci,” katanya. Sementara itu, Haykal dari Perludem menekankan perlunya PDIP merefleksikan strategi politik mereka. “Praktik politik uang dan intervensi alat negara hanya memperburuk citra demokrasi kita,” ujar dia.
Di sisi lain, PDIP mulai menguatkan basis mereka di wilayah lain, seperti Sumatra dan Kalimantan. “Kami tetap berkomitmen untuk memperjuangkan aspirasi rakyat di seluruh Indonesia, termasuk di wilayah-wilayah yang menjadi tantangan bagi kami,” kata Djarot Saiful Hidayat, salah satu tokoh senior PDIP.
Pilkada Paling Letoy
Salah satu isu utama yang mencuat dalam Pilkada 2024 adalah rendahnya tingkat partisipasi pemilih. Di Jakarta, misalnya, partisipasi hanya mencapai 58 persen, turun signifikan dari Pilkada 2017 yang mencapai 70 persen. “Penurunan ini adalah tanda bahwa masyarakat mulai merasa lelah dengan praktik politik yang tidak etis,” ujar Ketua Divisi Teknis KPU RI, Idham Holik.
Penurunan partisipasi itu juga dipengaruhi oleh kejenuhan politik akibat penyelenggaraan Pemilu dan Pilkada di tahun yang sama. “Masyarakat mengalami political fatigue. Ini perlu menjadi bahan evaluasi untuk penyelenggaraan pemilu mendatang,” kata Idham, menambahkan.
Selain itu, peneliti Perludem, Haykal, menyebut bahwa rendahnya militansi pemilih juga menjadi faktor utama. “Brutalitas politik dan penggunaan isu-isu primordial sering kali membuat pemilih kehilangan kepercayaan,” katanya.
Peneliti Perludem, Haykal. (Foto: Dok. Perludem)
Di sisi lain, adanya banyak calon tunggal di Pilkada 2024 juga dianggap sebagai penyebab penurunan antusiasme. “Calon tunggal membuat pemilih merasa tidak memiliki pilihan nyata. Ini mengurangi semangat mereka untuk datang ke TPS,” ungkapnya.
Namun, bagaimanapun Pilkada Serentak 2024 telah jadi pengingat bahwa kekuatan politik tidak pernah abadi. Kekalahan PDIP di wilayah-wilayah strategis menunjukkan bahwa kekuatan besar sekalipun harus terus beradaptasi untuk bertahan. Namun, ini bukan akhir dari perjalanan PDIP. Masih ada peluang bagi partai berlambang banteng itu untuk bangkit, dengan introspeksi mendalam dan reformasi strategi politik yang lebih relevan dengan kebutuhan zaman.
Refleksi Megawati Soekarnoputri menggarisbawahi pentingnya persatuan di dalam partai dan keberanian untuk terus memperjuangkan aspirasi rakyat. “Kita tidak boleh menyerah. Kekalahan ini adalah pelajaran, dan dari sini kita bangkit lebih kuat,” ujar Megawati dalam pernyataan penutupnya.
Bagi PDIP, tantangan besar ke depan adalah bagaimana membangun kembali kepercayaan pemilih di wilayah-wilayah yang sebelumnya menjadi basis kekuatan mereka. Dengan strategi yang inklusif, pembenahan kaderisasi, dan pendekatan yang lebih mendekatkan diri pada rakyat, peluang untuk kembali menjadi kekuatan dominan di kancah politik Indonesia masih sangat terbuka.** inilah.com