Diksi “Rakyat Jelata” Bukan Pernyataan Ahli Komunikasi

0
164
Aendra Medita Foto : Andi Sopiandi

CATATAN AENDRA MEDITAAnalis & Strategi, Pusat Kajian Komunikasi Politik Indonesia (PKKPI), pernah bekrja PR di Fortune Indonesia

“Public relations is about understanding people and finding the best way to speak to their hearts.”

                                                           –Edward Bernays                                                                                                 “Father of Public Relations”

DALAM dunia Public Relations (PR), beberapa tokoh global dikenal karena kemampuan mereka menciptakan narasi yang cerdas, positif, dan tidak menyakitkan. Adalah beberapa tokoh terkenal dan filosofi mereka terkait komunikasi.

Yang saya kutip diatas Edward Louis James Bernays (“Father of Public Relations”) dimana ia paling jago dan prinsipnya Bernays menekankan pentingnya memahami psikologi masyarakat dan membangun narasi yang sesuai dengan aspirasi publik. Bernays seorang pionir Austria-Amerika dalam bidang hubungan masyarakat dan propaganda ini saya kutip diksinya yang keren: “Public relations is about understanding people and finding the best way to speak to their hearts.”  Ia selalu mengutamakan pendekatan strategis dalam menyampaikan pesan yang membangun, tanpa menimbulkan konflik.

Tokoh besar lainnya yaitu Howard Joseph Rubenstein yang disebut legend dunia PR. Pakar humas Rubenstein dikenal karena kemampuannya untuk menciptakan narasi positif dalam situasi sulit. Dia selalu menyarankan untuk menggunakan bahasa yang sopan, positif, dan tidak menyudutkan siapa pun. “Never underestimate the power of civility in communication.”

Nah secara filosofi tokoh-tokoh ini mumpuni menunjukkan bahwa komunikasi yang baik dalam PR yang selalu membangun hubungan positif dan kepercayaan. Tidak pernah menyakiti audiens melalui diksi yang kasar atau manipulatif, bahkan merendahkan derajat publik.

Ada pernyataan yang aneh dan tak layak sebagai yang pernah mengemban dunia komunikasi tinggi. Bahkan kini seorang ini adalah Staf Khusus Presiden bidang Komunikasi. Paska munculnya hinaan “Goblok” kepada pedangang Es Teh malah jadi blunder dan absurd sekelas Staf Khusus Presiden bidang Komunikasi ini.

Dia adalah Adita Irawati, juru bicara kantor komunikasi Kepresidenan alumni Jurusan Ilmu Hubungan Internasional pada masa kuliahnya melihat bidang kehumasan yang menarik. Dalam laman resmi Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Gadjah Mada, ia mengatakan bahwa ketertarikannya dalam bidang ini membuatnya rutin mengikuti seminar dan pelatihan mengenai kehumasan. Adita Irawati  Staf Khusus Presiden bidang Komunikasi, yang diangkat pada 15 Mei 2018 artinya sudah saat presiden sebelumnya. Pengalaman kerja di bidang penyiaran dan industri telekomunikasi, yang mengkhususkan diri dalam pemasaran, investor relations, public relations dan corporate communications, Adita Irawati dapat dikatakan merupakan salah satu yang paham bidang hubungan masyarakat.

Tapi kenapa dia sebagai komunikator yang sukses saat ini “gagal” memahami bahwa narasi yang elegan. Kata busuk menuduh rakyat jelata adalah diksi yang hina. Apa dia sadar bahwa rakyat selalu diperlukan saat ini, kenapa Anda tuduh begitu hina. Harusnya diksi yang baik harus memperkuat hubungan publik dan membawa manfaat tanpa merendahkan pihak lain (rakyat).

Kalau dilihat pernyataan menggunakan celaan rakyat jelata frasa keluar dari seperti “staff presiden diksi yang busuk” kurang pas dan ini  menimbulkan kesalahpahaman, bahkan kabur. Jika Anda ingin menyampaikan kritik atau menggambarkan sesuatu yang tidak sesuai, pertimbangkan penggunaan diksi yang lebih spesifik dan profesional, baiknya.

Jika kritiknya terkait perilaku atau kebijakan staf presiden baiknya Staf Komunikasi presiden menggunakan diksi yang santun, jika begitu jelas tidak pantas. Pernyataan staf presiden kurang beretika. Dan jika ingin menyoroti kualitas komunikasi pemilihan diksi itu sebagai staf komunikais  presiden kurang tepat. Diksi ini yang digunakan staf komunikasi presiden rakyat jelata menimbulkan persepsi negatif, hina.

Sebagai komunikator penting untuk menggunakan bahasa yang tepat agar pesan yang ingin disampaikan diterima dengan baik dan tidak menimbulkan kesalahpahaman. Penyebutan “rakyat jelata” seorang komunikator adalah contoh penggunaan diksi yang kurang tepat karena tidak ada hubungan logis antara “rakyat jelata” yang disampaikan dari ruang kekuasaan.

Frasa ini dapat diperbaiki tergantung pada maksud yang ingin disampaikan bahwa haruslah mulyakan  jika terkait seseorang yang menjadi penyambung suara rakyat, baiknya menekankan komunikasi diksai rakyat jelata dijauhkan.

Adanya kontroversi terkait pernyataan seorang juru bicara Kantor Komunikasi Kepresidenan yang menyebut istilah “rakyat jelata,” sehingga menuai kritik. Dalam konteks komunikasi resmi, diksi seperti ini memang bisa dianggap kurang bijaksana karena dapat menyinggung sebagian audiens.

Istilah “rakyat jelata” memiliki konotasi hierarkis dan dapat menimbulkan persepsi merendahkan, dan konteks penggunaannya menjadi nambah blunder. Sebagai pejabat atau komunikator publik, penting untuk memilih kata yang inklusif dan menunjukkan penghormatan kepada semua lapisan masyarakat, seperti “masyarakat umum” atau “warga negara.”

CATATAN PENTING

Yang menggunakan istilah “rakyat jelata” dalam konteks resmi, seperti yang dilakukan oleh juru bicara Kantor Komunikasi Kepresidenan, mencerminkan ketidaktepatan dalam pemilihan diksi :

Diksi dan Konotasi

“Rakyat jelata” adalah istilah yang memiliki konotasi historis dan feodal, mengacu pada kelas masyarakat yang berada di lapisan bawah dalam struktur sosial masa lalu. Penggunaan istilah ini dalam konteks komunikasi pemerintahan modern dapat dianggap merendahkan, karena menciptakan kesan hierarkis yang tidak sesuai dengan prinsip kesetaraan dan inklusivitas dalam negara demokrasi. Respon Publik dan Potensi Kontroversi pasti akan muncul. Istilah “Rakyat jelata” tersebut memicu reaksi negatif karena dianggap tidak sensitif terhadap posisi masyarakat sebagai pemegang kedaulatan negara.

Dalam sistem demokrasi, semua warga negara memiliki kedudukan yang setara di hadapan hukum. Menggunakan istilah seperti ini berpotensi merusak hubungan pemerintah dengan rakyat karena dianggap tidak menghormati peran rakyat dalam sistem pemerintahan.

Perspektif Komunikasi Publik

Sebagai juru bicara, tugas utama adalah memastikan pesan yang disampaikan bersifat jelas, inklusif, dan membangun hubungan yang positif antara pemerintah dan masyarakat. Pemilihan kata yang tidak tepat menunjukkan kurangnya kepekaan terhadap persepsi publik. Komunikator publik harus menggunakan bahasa yang menyatukan, seperti “masyarakat,” “warga negara,” atau “publik.” Jika tidak dijalankan maka akan berdampak pada Kredibilitas Pemerintah. Kesalahan diksi seperti ini dapat merusak citra pemerintah, terutama jika dianggap tidak memahami sensitivitas sosial dan budaya masyarakat.

Hal ini juga dapat memperkuat persepsi negatif terhadap institusi atau individu yang dianggap tidak representatif dalam menyuarakan aspirasi rakyat. Pelajaran dan Tindakan selanjutnya, penting sekali untuk mengakui kesalahan diksi ini dan mengeluarkan klarifikasi atau permintaan maaf diperlukan.

Ke depan, pelatihan komunikasi bagi pejabat publik sangat diperlukan untuk memastikan bahwa pesan-pesan yang disampaikan mencerminkan nilai-nilai demokrasi, penghormatan, dan inklusivitas.

Akhirnya saya sampaikan kesimpulan, kesalahan seperti ini menunjukkan pentingnya pemahaman mendalam tentang dampak diksi dalam komunikasi publik. Pemerintah harus memastikan bahwa pernyataan resmi mereka selalu mencerminkan penghargaan terhadap semua elemen masyarakat untuk menjaga kepercayaan publik. Yang mana hal penting ahli komunikasi tidak menyudutkan siapa pun. Jika tidak ditangani dengan baik, kontroversi seperti ini dapat memperlebar jarak antara pemerintah dan masyarakat. Bukan begitu. Tabik…!!!!

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.