Walhi Sulteng: Seret 3 Perusahaan Tambang di Morowali Utara ke Pengadilan, Ungkap Hasil Riset Pencemaran Lingkungan

0
47
Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) saat menggelar konferensi pers bersama sejumlah wartawan di Kota Palu, pada Sabtu (14/12/2024). (Kabar Sulteng)

PRIBUMINEWS.CO.ID  Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) resmi menggugat tiga perusahaan tambang di Morowali Utara, yaitu PT Stardust Estate Investment (SEI) sebagai tergugat I, PT Gunbuster Nickel Industry (GNI) tergugat II, dan PT Nadesico Nickel Industry (NNI) tergugat III, ke Pengadilan Negeri (PN) Poso.

Gugatan kepada tiga perusahaan tambang di PN Poso ini terkait dugaan pencemaran dan perusakan lingkungan yang terjadi di wilayah Morowali Utara.

Kuasa hukum Walhi, Sandy Prasetya Makal dari Kantor Hukum Pengacara Hijau Sulawesi Tengah, menjelaskan bahwa PT SEI sebagai tergugat I merupakan pengelola kawasan industri smelter di Kecamatan Petasia dan Petasia Timur.

Sementara itu, PT GNI dan PT NNI sebagai tergugat II dan III selaku tenan yang menjalankan usaha pengolahan/pemurnian bijih nikel dalam kawasan industri yang dikelolah PT SEI.

Turut tergugat dalam perkara ini adalah Menteri Lingkungan Hidup Republik Indonesia (turut tergugat I), Gubernur Sulawesi Tengah (turut tergugat II), dan Bupati Morowali Utara (turut tergugat III).

Sandy mengungkapkan bahwa sebelum melakukan gugatan, Walhi telah melayangkan somasi kepada ketiga perusahaan tambang di Morowali Utara ini agar melakukan pemulihan lingkungan akibat pencemaran lingkungan hidup. Namun, somasi tersebut tidak diindahkan.

“Pada 6 Desember 2024, kami mendaftarkan gugatan perbuatan melawan hukum terkait pencemaran dan perusakan lingkungan ke Pengadilan Negeri (PN) Poso. PN Poso telah menerima gugatan ini dengan nomor perkara 202/Pdt.Sus-LH/2024/PN Poso,” ujar Sandy, kepada sejumlah jurnalis di Kota Palu, Sabtu (14/12/2024).

Gugatan ini didasarkan pada investigasi dan riset yang dilakukan Walhi Sulteng bersama sejumlah organisasi masyarakat, yang menemukan fakta-fakta pencemaran lingkungan, termasuk air sungai dan udara di sekitar Desa Tanauge.

“Sidang perdana di PN Poso dijadwalkan pada 7 Januari 2025,” ujar Sandy.Menurut hasil riset, air sungai kecil yang keluar dari kawasan PT GNI menuju Sungai Laa telah melampaui ambang batas baku mutu lingkungan hidup, baik dari segi kekeruhan maupun kandungan zat-zat kimia.

Selain itu, di wilayah laut dekat Terminal Untuk Kepentingan Sendiri (TUKS) milik PT SEI, ditemukan zat-zat berbahaya yang melampaui ambang batas level 2.

“Pencemaran ini menyebabkan masyarakat mengalami gangguan kesehatan, seperti masalah pernapasan dan penyakit kulit,” kata Sandy.

Kemudian, ikan dan kerang yang dikonsumsi masyarakat Desa Tanauge dan sekitarnya juga mengandung zat berbahaya berdasarkan hasil uji laboratorium.

“Kandungan bahan berbahaya yang tidak sewajarnya terkandung dalam Ikan dan kerang, kami perkirakan akan semakin bertambah dan membahayakan masyarakat yang mengonsumsi ikan sehari-hari,” terang Sandy,

Hal ini, kata Sandy, mengingat operasi produksi Para Tergugat masih terus berlangsung dan kian masif di wilayah Petasia dan Petasia Timur khususnya.

Debu dari aktivitas bongkar muat batu bara, pembakaran PLTU, dan mobilitas kendaraan pengangkut juga menyebabkan pencemaran udara. Hal ini berdampak langsung pada kesehatan masyarakat sekitar.

Sandy menambahkan bahwa lemahnya pengawasan dan pemantauan oleh para turut tergugat turut memperburuk situasi.

Salah satunya, tidak tersedianya data yang berkaitan dengan dampak yang timbul dalam aspek kesehatan spesifik mengenai kondisi kesehatan masyarakat yang berada di sekitar wilayah industri dan pertambangan nikel milik para tergugat.

“Ini merupakan salah satu kelalaian dari para turut tergugat  dalam melakukan fungsi dan kewenangannya,” tegas Sandy.

Sementara itu, Direktur Eksekutif Daerah WALHI Sulteng, Sunardi Katili, mengtakan bahwa selain berasal dari sisa pembakaran batu bara oleh PLTU, pencemaran udara juga diduga bersumber dari aktivitas bongkar muat batu bara, penampungan yang tidak memenuhi aspek keamanan, serta pengangkutan batu bara dari Pelabuhan TUKS milik para tergugat menuju kawasan industri dan PLTU.

“Aktivitas pembakaran batu bara di PLTU dan bongkar muat batu bara ini, jika dikaitkan dengan hasil-hasil riset, sangat berpotensi membahayakan jika dibiarkan terus berlangsung,” terang Sunardi.

Disebutkan bahwa masyarakat Desa Tanauge mengeluhkan penyakit kulit, seperti gatal-gatal disertai luka. Penyakit ini mulai muncul bersamaan dengan meningkatnya aktivitas industri dan pengolahan nikel oleh para tergugat.

“Kami menduga pencemaran udara dan sumber air akibat aktivitas industri tersebut menjadi penyebab utama penyakit kulit yang dialami masyarakat,” ujarnya.

Biota laut seperti ikan dan kerang yang dikonsumsi masyarakat Desa Tanauge juga menghadapi ancaman serius

Berdasarkan hasil riset dan uji laboratorium, aktivitas bongkar muat batu bara serta pembakaran batu bara di PLTU menyisakan zat berbahaya yang mencemari laut dan biota di dalamnya.

Hasil riset menunjukkan adanya kandungan logam berat berbahaya dalam ikan dan kerang yang sering dikonsumsi masyarakat.

“Jika pencemaran ini tidak dihentikan, zat berbahaya tersebut akan terus terakumulasi, menyebabkan dampak yang semakin berbahaya bagi kesehatan masyarakat di masa depan,” katanya.

Pencemaran dan kerusakan lingkungan di kawasan industri milik para tergugat, khususnya di Desa Tanauge dan sekitarnya, berdampak langsung pada aktivitas nelayan.

Wilayah pesisir, yang menjadi area tangkap utama, mengalami kerusakan sehingga memaksa nelayan menangkap ikan di lokasi yang lebih jauh. Hal ini meningkatkan biaya operasional yang sering kali tidak sebanding dengan hasil tangkapan.

Akibat kerusakan lingkungan, sebagian masyarakat terpaksa beralih profesi menjadi buruh atau karyawan industri karena laut tidak lagi produktif. Namun, peralihan ini bukanlah solusi, melainkan menciptakan masalah baru.

Menurut Sunardi, profesi buruh yang sepenuhnya bergantung pada pengupahan industri, tidak dapat menggantikan penghasilan nelayan yang selama ini bergantung pada hasil laut. Kompleksitas kehidupan buruh juga berbeda dengan profesi nelayan, yang telah ditekuni masyarakat Desa Tanauge selama puluhan tahun.

Generasi saat ini memiliki hak untuk memanfaatkan sumber daya alam guna memenuhi kebutuhan. Namun, pengelolaan sumber daya mineral oleh para tergugat harus memperhatikan keberlanjutan.

“Generasi kita, termasuk para tergugat, memiliki kewajiban untuk tidak mengorbankan kemampuan generasi mendatang dalam memenuhi kebutuhan mereka,” tuturnya.

Mempertahankan keadaan lingkungan agar memenuhi keadilan lingkungan antargenerasi merupakan tanggung jawab kolektif seluruh umat manusia.

Semua pihak, termasuk individu, pemerintah, dan perusahaan, memiliki tanggung jawab untuk menjaga kelestarian lingkungan dan sumber daya bagi generasi mendatang.

Generasi mendatang berhak mendapatkan akses yang sama terhadap lingkungan hidup yang sehat dan sumber daya yang memadai, seperti air bersih, udara segar, dan tanah subur.

Jika eksploitasi sumber daya alam terus dilakukan tanpa memperhatikan aspek keberlanjutan lingkungan serta tidak dijalankan dengan prinsip kehati-hatian, maka keadilan antargenerasi tidak akan terwujud.

“Situasi di Desa Tanauge dan sekitarnya, di mana tanah, air, dan udara telah rusak dan tercemar, apabila kerusakan ini tidak dihentikan dari sekarang, maka keadilan antargenerasi akan semakin menjauh dari cita-citanya yang hakiki,” pungkasnya.***

sumber: kabarsulteng.id

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.