Seni Terlarang Yos, Bahaya Laten Neo Orba

0
185
Salah satu karya film Daniel Rudi Haryanto yang dilarang oleh pemerintah

PRIBUMINEWS.CO.ID – Undang-Undang Dasar 1945 pasal 28 dan UU Nomor 39 tahun 1999 menjamin kebebasan berekspresi warga negara Indonesia termasuk seniman di dalamnya.

Polemik gagalnya pameran lukisan perupa senior dari Yogyakarta Yos Suprapto oleh Galeri Nasional Indonesia (GNI) bagi sebagian pihak menjadi preseden buruk atas pengejawantahan terhadap UUD 1945 dan UU Nomor 39 tahun 1999.

Pameran lukisan karya Yos bertema Kebangkitan Tanah untuk Kedaulatan Pangan dibatalkan tiba-tiba oleh pihak Galeri Nasional. Pembatalan tersebut disinyalir merupakan wujud kekawatiran pihak GNI dan kurator atas lukisan Yos yang dinilai sangat vulgar dalam mengkritik penguasa sehingga GNI selaku institusi pemerintahan merasa “terganggu” atas kevulgaran tersebut.

Namun kasus pembredelan tak hanya dialami oleh perupa Yos Suprapto saja, sejarah perjalanan seni dan budaya Indonesia juga merekam berbagai peristiwa serupa yang terjadi pada seniman, tidak hanya di seni rupa, namun juga terjadi di seni pertunjukan, film, musik, sastra, bahkan seni tari.

Dramawan WS. Rendra, Penyair Wiji Thukul, Perupa Semsar Siahaan, sutradara Judy Soebroto, dll.

Pelarangan terhadap karya seni mengingatkan pada peristiwa pelarangan karya sutradara muda Daniel Rudi Haryanto yang sering di sapa Rudi Gajahmada, seorang perupa sekaligus sineas lulusan Fakultas Film Institut Kesenian Jakarta. Karya filmnya tak hanya sekali dilarang atau pun gagal dipertontonkan pada khalayak ramai, dua karya filmnya yang berjudul Prison and Paradise (2010) dan Maha Guru Tan Malaka (2017) juga di larang diputar untuk umum dan diberhentikan pada saat road show oleh aparat negara.

“Kasusnya pelukis Yos ini kan bukan yang pertama republik ini berdiri, banyak para perupa atau sineas yang karyanya dilarang oleh pemerintah, apakah itu bentuknya lukisan seperti punya nya Yos, atau karya seni dalam bentuk film, seperti dua film saya yang dilarang oleh Lembaga Sensor Film pada tahun 2010 dan 2017 silam,” kata Daniel Rudi Haryanto saat INAMEDIA.id menghubunginya melalui sambungan telepon. Minggu (22/12/2024).

LSF melarang film Prison and Paradise secara resmi dengan alasan film itu dianggap sarat dengan dialog-dialog propaganda yang menyesatkan, sehingga memberi pengaruh negatif terhadap generasi muda Islam Indonesia. Oleh karena itu film tersebut tidak sesuai dengan kriteria penyensoran dan aspek keagamaan sehingga tidak dapat beredar atau diedarkan di wilayah R.I. “Aspek keagamaan” pada surat ini adalah mengacu kepada aturan sensor yang dibuat pada masa Orde Baru, yaitu PP No.6 tahun 1994 tentang Lembaga Sensor Film.

Yang menyakitkan bagi Rudi Gajahmada dari penolakan Prison and Paradise adalah bahwa surat penolakan itu turun beriring dengan penjurian pada Festival Film Indonesia tahun 2011 dimana Prison and Paradise adalah salah satu nominasi untuk film dokumenter terbaik. Akibat dari surat ini, Panitia Pelaksana FFI menyatakan nominasi itu harus dibatalkan karena menurut Pedoman Pelaksanaan FFI, semua film yang didaftarkan ke FFI sudah harus mendapatkan surat tanda lolos sensor.

Rudi yang sempat mengenyam beasiswa pendidikan di USC Cinematic Arts California USA pada tahun 2016 dan Griffith Film School di Brisbane Australia pada tahun 2018 itu menceritakan, tak hanya Filmnya yang berjudul Prison And Paradise dan Maha Guru Tan Malaka saja yang dilarang, pada tahun 1996 ketika dia masih di Jogja, aparat negara juga pernah melarang karyanya dalam bentuk lukisan untuk dipamerkan bersama Kelompok Lukis Minggu Kliwon.

Kepada INAMEDIA.id Rudi Gajahmada menceritakan pelarangan atau pembredelan karya lukisanya pada tahun 1996 itu terjadi di Bentara Budaya Yogyakarta dengan kurasi dari Lembaga Indonesia-Belanda, Karya Pustaka, Yogyakarta. Karya Rudi dengan judul Arak Bugil dan Buto Ijo ini mengisahkan kediktatoran kekejaman Orde Baru. Yos Suprapto kini mengalami nasib sama dengan Rudi, yuniornya yang merupakan jebolan SMSR Yogyakarta tahun 1994 itu.

Rudi berpendapat bahwa kekuasaan negara dan aparatnya memiliki potensi laten untuk bertindak represif terhadap seniman yang kritis kendati reformasi telah bergulir sejak 1998 hingga saat ini tipikal arogansi dan represi penguasa kepada masyarakat berpotensi terjadi. Bagi Rudi bila memang sebuah karya seni yang dianggap membahayakan harusnya di diskusikan bukan dilarang atau dibeli dan disimpan di ruangan berlapis baja sekalian.

Ini sama saja masyarakat kita dilarang untuk kritis, contohnya film saya, kalo memang Film MAHA GURU TAN MALAKA itu mengandung unsur sosialisme yang terlarang atau horor komunisme, mari kita bahas dimana letak kesalahannya, atau kita diskusi lagi apa itu sosialisme dan komunisme, dalam Film Maha Guru Tan Malaka, saya hanya ingin memperkenalkan kepada generasi muda ada seorang cerdik pandai orang Indonesia yang jenius sehingga dari buah pikirannya konsep negara Republik Indonesia ini hadir,” terang Daniel Rudi Haryanto. “Kenapa sih orang melarang komunisme? Kenapa tak melarang kapitalisme?” Tambah Rudi dengan nada gemes.

Kendati mendapatkan pelarangan dari pemerintah, Rudi juga mengungkapkan karya filmnya mendapatkan dukungan dari pengamat sejarah Universitas Indonesia Bonnie Triyana kala itu, yang saat ini menjadi anggota DPR-RI dari fraksi PDI-P. Tak hanya Bonnie yang menyayangkan pelarangan karya seni Rudi Gajahmada, Fadli Zon yang kini menjabat sebagai Menteri Kebudayaan Republik Indonesiapun mendukung karya sineas kelahiran Semarang ini.

Untuk kasus pembredelan Lukisan Yos Suprapto oleh Galeri Nasional Indonesia Rudi menyakini tidak ada intervensi pemerintah dalam hal ini Menteri Kebudayaan untuk melakukan pelarangan. “Kita harus duduk sejenak sambil ngopi, mengurai satu-satu permasalahannya dari polemik ini.”

Saya masih belum yakin jika uda Fadli Zon melarang seorang seniman untuk memamerkan karyanya, Fadli Zon itu kan juga kurator, kolektor seni dan juga pemerhati seni, beliau bahkan punya koleksi buku-buku yang terlarang di Indonesia juga,” ungkapnya.

Rudi berharap negara jangan suka paranoid kepada seniman. Seniman harus disejahterakan, dimuliakan, difasilitasi ruang kebebasan berekspresinya. Seniman dan sineas dijembatani kepada kolektor dan investor supaya bisa maju dan sejahtera, bukan malah dibenturkan oleh aturan-aturan yang ndak produktif sama sekali untuk pemajuan kebudayan.

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.