Keadlilan Adalah Awan, Terlihat Jelas Tapi Tak Bisa Digenggam

0
384
Ilustrasi ai | WAW

Keadlilan Adalah Awan, Terlihat Jelas Tapi Tak Bisa Digenggam

Cerpen
Wahyu Ari Wicaksono
Terminal 3 Soekarno-Hatta sore itu seperti piring berisi ikan mas yang disorot matahari, berkilau, sibuk, dan penuh sesak. Desirangin duduk di bangku tunggu, memegang boarding pass yang sudah hangus seperti cinta lama yang gagal diperjuangkan. Ia terlambat lima menit. Hanya lima menit. Tapi pesawat itu melaju pergi seperti mantan kekasih yang tak mau menoleh lagi.
Di sebelahnya, seorang pria paruh baya berkacamata hitam tersenyum kecil. “Telat juga?” tanyanya.
“Ya,” jawab Desir singkat, terlalu malas untuk berbasa-basi.
Pria itu terkekeh. “Ini kali ketiga saya ditinggal pesawat. Ironisnya, dua minggu lalu saya terjebak delay lima jam di Makassar. Hanya dapat sebungkus roti dan teh tawar.”
Desir tertawa kecut. “Kalau maskapai yang telat, selalu ada ‘alasan teknis’. Tapi kalau kita yang telat, ya, nasib. Saya cuma terlambat lima menit karena macet.”
“Macet selalu jadi alibi kota ini,” sahut pria itu. “Seperti langit kelabu yang selalu disalahkan saat hujan turun.”
Desir mengangkat alis. “Apa pekerjaan Bapak? Penyair?”
“Pengacara,” jawab pria itu sambil terkekeh. “Tapi saya suka bermain dengan kata-kata. Mereka lebih jujur daripada aturan hukum.”
Di kejauhan, suara pengeras suara mengumumkan delay penerbangan lain. Penumpang mendengus, beberapa mengumpat pelan. Tapi, seperti pasukan semut yang sabar, mereka tetap menunggu.
Desir menatap lantai mengilap di depannya. “Lucu, ya. Kita diajarkan untuk menghormati waktu, tapi waktu maskapai selalu fleksibel. Pernah delay tiga jam, saya cuma dapat roti basi dan permintaan maaf seharga nol rupiah.”
Pria itu tersenyum pahit. “Keadilan dalam dunia ini seperti awan; terlihat jelas, tapi tak bisa digenggam.”
Desir menoleh. “Kalau begitu, apa yang harus kita lakukan? Pasrah?”
“Bukan pasrah,” jawab pria itu. “Tapi berdamai. Kita terlalu sering berharap langit biru tanpa memahami hujan adalah bagian dari siklusnya.”
Desir terdiam. Kata-kata pria itu terngiang, tapi hatinya masih sulit menerima. Ia ingat bagaimana ia berlari-lari di lorong terminal, napas terengah, hanya untuk menemukan pintu sudah tertutup rapat. Tidak ada celah untuk protes, hanya senyum tipis petugas yang berkata, “Maaf, Bu. Aturan tetap aturan.”
Sore bergulir menjadi malam. Lampu-lampu terminal menyala, memantulkan bayangan seperti kunang-kunang dalam kaca. Di kejauhan, pesawat datang dan pergi, seperti janji yang tak semua bisa ditepati.
Pria itu berdiri, meraih kopernya. “Penerbangan saya sebentar lagi. Senang berbicara dengan Anda, Nona.”
“Senang juga berbicara dengan Anda,” jawab Desir, tanpa tahu mengapa.
Sebelum pergi, pria itu menoleh. “Ingat, waktu bukan musuh kita. Dia hanya guru yang sering terlambat masuk kelas.”
Desir tersenyum kecil. Kata-kata itu tertanam seperti benih di hatinya. Saat ia memesan tiket baru dan duduk menunggu, ia berpikir: mungkin, dalam hidup, kita semua adalah penumpang yang harus belajar menerima delay, entah itu dari maskapai atau dari nasib.
Dan seperti pesawat yang terbang di tengah badai, kita hanya bisa berharap sampai dengan selamat, meski sedikit terlambat.[]

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.