MENGAPA PRABOWO KESULITAN MENGGANTI KAPOLRI & MEREPOSISI POLRI ?
Oleh Memet Hakim
(Pengamat Sosial, Dewan Penasihat Aliansi Profesional Bangkit & Aliansi Pejuang dan Purnawirawan TNI)
100 hari masa kepemerintahan baru presiden Prabowo telah berlalu, Kepolisian RI terlihat tidak mampu mengikuti irama presiden Prabowo yang ingin menumpas korupsi, melindungi dan mensejahterakan rakyat. Polisi terlihat masih merasa menjadi polisinya Jokowi sang boneka oligarki, tidak heran kesetiaan polisi umumnya adalah untuk melindungi pengusaha terutama pengusaha Cina Rakus yang bersedia mengeluarkan sehumlah uang asalkan bisnisnya lancar. Tentu hal ini bertentangan dengan keinginan Presiden baru.
Umur Polri sudah 79 tahun, Instansi Kepolisian telah dibentuk sedemikian oleh presiden Jokowi menjadi polisinya presiden dan pengusaha. Masih ditemukan adanya perampasan hak rakyat oleh pengusaha yang dikawal oleh polisi, bahkan di dekat Jakarta saja, di Tanggerang kasus Pagar Laut dan pembebasan lahan polisi masih mendukung pemilik Perusahaan perumahan raku situ dan ikut menekan rakyat. Masih banyak berita negatif tentang polisi yang masih menyakiti rakyat, ini menunjukkan bahwa Polisi tidak siap untuk berubah.
Ada kesan bahwa Polri tidak siap mendapatkan amanah yang besar, mendapatkan kekuasaan yang besar, sehingga silau atas kekuasaan dan harta, terutama setelah lepas dari ABRI per 1 April 1999. Pertama kali Polri dibawah Mabes TNI, kemudian dibawah Kemenhan tahun 1999 dan mulai tahun 2000 langsung dibawah presiden. Perjalanan Panjang ini kelihatannya tidak membuat polri semakin dewasa, tetapi justru semakin terlihat belum siap mandiri dan bangga jika dibantu oleh pengusaha rakus dan jahat.
Banyak kasus besar bahkan menimbulkan korban jiwa, masalah judi, narkoba, prostitusi (dirty business), politik, bahkan olah raga, semuanya tidak terlepas dari kegagalan instansi Kepolisian menanganinya. Walau demikian Kepolisian tidak dapat belajar dari pengalaman buruk tersebut, sehingga kegagalan terus berulang. Itulah sebabnya memang sebaiknya ada Reposisi dan Reformasi di tubuh Kepolisian Republik Indonesia, agar POLRI lebih baik.
Setidaknya ada 5 permasalahan mendasar di Kepolisian RI yakni 1. Kekerasan pada Warga dimana banyak kasus kekerasan yang merugikan citra polisi, 2. Korupsi di tubuh Polri berada di peringkat pertama paling korupsi di ASEAN berdasarkan hasil survei Index Mundi, 3. Profesionalisme polisi masih banyak dipertanyakan, karena kegagalannya di dalam berbagai hal, 4. Transparansi dalam berbagai proses di dalam tubuh Polri dan 5. Akuntabilitas yakni pertanggungan jawab atas tindakan masing-masing polisi.
Sulit sekali mencari jendral polisi sekelas Hoegeng Iman Santoso, mantan Kapolri tahun 1968, yang sederhana, memiliki rasa kebangsaan yang kuat dan berani menghadapi bisnis kotor. Tidak heran jika Preseiden Prabowo kesulitan mengganti figur Kapolri yang dianggap oleh masyakat sebagai Kapolri yang gagal. Mengganti Kapolri harus 1 paket dengan Mendagri yang ogah menerima Polri dibawah Kemendagri. Calon Menteri Dalam Negeri, banyak tersedia mantan Gubernur, baik sipil maupun purnawirawan.
Sepatutnya memang Kapolri diangkat dari jendral Bintang 3 yang tersedia dari eselon dibawah Kapolri, dan memenuhi 3 persyaratan menjadi pimpinan Polri yakni : 1. Persyaratan Formal, seperti Pendidikan, pengalaman, jabatan dan kepangkatan, 2. Persyaratan Material seperti kemampuan mengendalikan sekitar 500.000 orang personal Kepolisian yang karakternya sudah buruk dan tersebar di seluruh Indonesia, memiliki karakter kuat dan memiliki rasa kebagsaan serta 3. Persyaratan moral, seperti tidak memiliki cacat moral seperti main atau menjadi pelindung Judi, maksiat, narkoba, korupsi dan berbagai bisnis kotor lainnya, taat beragama, KDRT dan dapat dijadikan contoh teladan bagi anak buahnya.
Apabila Pati Bintang 3 tidak ada, maka bisa saja Presiden memilih jendral Bintang 2 atau bahkan bintang 1, karena merupakan kondisi darurat pimpinan. Jika tidak tersedia juga, tentu Presiden dapat memilih dari jendral polisi yang telah pensiun, dengan catatan, harus membina kader polisi minimal 3 orang untuk dijadikan penggantinya.
Krisis moral di kepolisian tidak hanya terjadi pada level atas saja, di level menengah dan bawahpun terjadi, itulah mengapa pemilihan pimpinan polisi ini begitu sulit. Kapolri yang baru harus berani mengganti dan memperbaiki moral eselon dibawahnya. Hanya tindakan tegas dan drastis yang dapat menyelamatkan instansi Polri saat ini, Presiden Prabowo dinilai mampu. Program pemberantasan korupsi ini akan semakin lancar, jika para penegak hukum ini ditertibkan terlebih dahulu, sehingga tidak ada beban jika menertibkan di instansi lainnya.
Selama ini terkesan Polri tidak dapat membedakan antara kepentingan pribadi, kepentingan Perusahaan, kepentingan negara, kepentingan rakyat atau nilai keadilan. Ada kesan juga saling melindungi sesama polisi jika kasusnya terkait polisi dan jika media tidak memviralkan biasanya redup penyelesaiannya. Ini bentuk ketidak dewasaan Polri secara mental, belum memiliki intergritas, tapi ingin terlihat hebat dan berhasil. Apalagi secara umum parameter keberhasilannya diukur dengan pangkat dan harta, bukan kemuliaan atau martabat.
Ketidak mampuan Polisi membedakan antara kepentingan pribadi, kepentingan perusahaan, kepentingan Negara dan rakyat ini yang akhirnya membuat Polri terperangkap kesetiaan buta pada siapa saja yang dapat membayar atau memberikan pangkat lebih, sehingga banyak sekali kasus yang merusak nama baik Kepolisian. Hal ini terkait pula pada “Budaya Suap/Setoran” dan intimidasi yang masih terpelihara dengan baik di Polri, maka dapat dipahami kenapa Instansi Kepolisian RI ini belum dewasa. Bahkan Indonesia Police Watch (IPW) mengungkapkan hal yang sama sejak di pendidikan Perwira (Setukpa) Polri dan Kompolnas. Polisi yang baik bahkan karirnya sulit berkembang dan polisi yang ingin bertobat menjadi baik juga sulit karena lingkungannya sudah sedemikian rupa.
Polri perilakunya mirip dengan Polisi Kerajaan Malaysia, mudah melakukan pembunuhan, kekerasan, dan pemerasan, bahkan tidak sedikit yang meninggal dunia. Ini salah satu bentuk kurangnya kemampuan personal polisi di dalam menterjemahkan posisinya sebagai pengayom masyarakat. Polisi memang belum siap secara mental diberikan tugas dengan kekuasaan yang sangat besar ini.
Untuk mengontrol POLRI, sebaiknya Instansi Kepolisian yang merupakan aparat sipil yang berstatus sebagai Pegawai Negeri dimasukan dalam kelompok ASN bukan TNI. Kepolisian sebaiknya dikembalikan ke Kemenhan atau dibawah Kemendagri, sehingga ada pihak lain yang ikut mengontrol secara ketat perilaku anggota kepolisian ini. Kompolnas dan ICW tampaknya tidak dapat mengontrol instansi ini sendirian. Sebagai Pegawai Negeri pangkat dan Jabatan Polisi harus disesuaikan dan tidak boleh menggunakan tanda pangkat dan memiliki senjata seperti di militer.
Sangat mungkin anggota Polri secara psikologis merasa menjadi bagian dari militer walau pendidikan dan pelatihannya bukan untuk berperang, sehingga tidak jarang anggota Polri berseteru dengan tentara. Penyalahgunaan kendaraan dinas sering juga sering dilihat di jalanan umum, sering pula mobil pengawal digunakan serampangan dan mengganggu lalu lintas. Memperbaiki krisis moral yang telah lama menjadi budaya di Kepolisian tentu memerlukan waktu dan berbagai cara, tentu tujuannya untuk memperbaiki citra Kepolisian bukan karena alasan lain.
Jika Polri bisa kembali dibawah TNI, bisa saja akan tetapi polisi harus dijadikan pegawai negeri sipil (non militer) dan tanpa senjata. Pasukan Brimob yang jumlahnya banyak sekali dapat dimanfaatkan untuk memperkuat TNI AD, AL dan AU dengan penyesuaian pelatihan. Anggota Brimob bisa juga memilih menjadi pegawai negeri biasa di TNI/Kemenhan. Dengan demikian tidak dapat begitu saja menerima bantuan dari pengusaha untuk membuatkan Mako Brimog di PIK 2 atau Bangunan lainnya misalnya, karena semua bantuan harus sepengetahuan dan persetujuan Kemenhan, karena bagaimana pun bantuan dari luar instansi merupakan gratifikasi alias tindak pidana Korupsi.
Polisi Lalu lintas juga sebaiknya diberikan ke Kementerian Perhubungan yang bertugas mengatur lalu lintas di Darat, Laut dan Udara, sehingga pengawasan Lalu Lintas itu dengan lebih baik. Polisi sebagai pegawai negeri sebaiknya fokus saja mengurus keamanan di lingkungan sipil di dalam negeri yang sifatnya kriminal/pidana dan ketertiban umum. Urusan separatis dan pemberontakan biarlah menjadi urusannya TNI yang lebih ahli.
Jika Kepolisian dibawah Kemendagri seperti di banyak negara lain, senjatanya cukup laras pendek itupun untuk ketuanya saja, Kapolri bertanggung jawab pada Menteri. Dengan demikian personal polisi tidak akan merasa paling kuat dan hebat, bahkan akan menjadi takut berbuat salah. Tentu ini juga akan membantu meningkatkan citra polisi. Berbagai pola keamanan dapat diberikan kepada kepolisian yang sifatnya penangan keamanan kriminal (Kejahatan fisik, judi, narkoba, prostitusi, dll, dll) dan korupsi, yang tentu berbeda dengan Satpol PP yang bertugas menjaga ketertiban umum di lingkungan Pemda.
Pengurusan SIM dan urusan lalu lintas sebaiknya digabung atau diberikan ke Kementerian Perhubungan agar Kepolisian dapat berkerja menjaga keamanan dengan lebih fokus. Jika polantas, pembuatan SIM masih 1 instansi, tidak terjadi internal control yang baik. Dengan demikian citra POLRI akan jauh lebih baik.
Kedua alternatif ini tentu saja perlu dibahas bersama, agar POLRI dapat menjadi lebih dewasa secara mental dan perilaku, bermanfaat buat bangsa dan negara, bukan sekedar alat kekuasaan atau alat Perusahaan Cina rakus. Polisi tidak cocok memiliki satuan penumpas teror, karena itu bukan tugasnya, Polisi tinggal minta bantuan TNI untuk mengatasi teror jika ada. Keinginan beberapa petinggi Kepolisian ingin menjadikan instansinya menjadikan instansinya super power, tetapi tidak ditopang oleh kualitas personilnya, telah membawa citra kepolisian RI ketingkat terendah.
Di dalam Undang Undang RI No 2 Tahun 2002, tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia Pasal 1 ayat 2 dijelaskan bahwa anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia adalah pegawai negeri pada “Negara Republik Indonesia”. Mungkin karena ada kata-kata “keamanan dalam negeri”, “alat negara”, sehingga para petinggi Kepolisian menempatkan dirinya sama dengan militer bahkan lebih tinggi dari militer. karena dilengkapi dengan persenjataan yang konon kabarnya lebih canggih dari militer. Sayangnya tingkat mental, moral serta kemampuannya personal POLRI belum memadai.
Kelak diharapkan tidak akan terlihat lagi ada Polisi yang ikut mengusir rakyat dari tanahnya sendiri demi membela Perusahaan Cina2 rakus, membunuh dan melakukan kekerasan serta melanggar hukum. Semoga pula didalam pemerintahan yang akan datang polisi menjadi lebih baik, tidak dilengkapi dengan senjata dan peralatan militer dan menjadi sahabat rakyat. Kontrol yang kuat dari eksternal, diperlukan Polri ini dapat bekerja lebih professional.
Bandung, 8 Januari, 2025