“Salto Mortale” Makna Paradoks

0
70

“Salto Mortale” Makna Paradoks

Jaya Suprana

SATU di antara sekian banyak definisi yang pernah saya coba buat tentang apa yang disebut sebagai humor adalah bermain dengan logika. Satu di antara sekian banyak permainan logika adalah apa yang disebut sebagai paradoks .

Menurut Kamus besar Bahasa Indonesia, paradoks adalah pernyataan yang seolah-olah bertentangan (berlawanan) dengan pendapat umum atau kebenaran umum, tetapi kenyataannya mengandung kebenaran. Kata kunci paradoks adalah istilah “seolah-olah” yang menegaskan bahwa kebenaran tidak selalu sama dengan atau selalu tidak sama dengan kenyataan.

Bagi saya secara subyektif, paradoks adalah logika yang menelan diri sendiri atau bisa juga dianggap sebagai logika yang mengingkari diri sendiri alias self-contradiction seperti ketika saya menyatakan diri saya tidak percaya takdir yang pada hakikatnya berarti takdir saya adalah tidak percaya takdir, maka sebaiknya saya percaya saja terhadap takdir.

Perasaan paradoksal juga merundung tatkala saya merasa banyak tahu berkat banyak membaca buku.

Namun, makin banyak buku saya baca terbukti makin sadar saya bahwa sebenarnya saya tidak tahu apa-apa.

Maka konon Sokrates pernah berparadoks dengan keyakinan bahwa beliau tahu bahwa beliau tidak tahu apapun.

Paradoks terminologi cetirus paribus terletak pada kenyataan bahwa satu-satunya unsur yang tidak berubah justru adalah sang perubahan itu sendiri.

Sebagai warga Indonesia terus terang maupun gelap, saya paling tertarik batin pada paradoks yang terkandung pada Orasi Kebudayaan Mochtar Lubis “Manusia Indonesia” di TIM pada 1977 bahwa manusia Indonesia munafik mengingat fakta tak terbantahkan bahwa Mochtar Lubis sendiri adalah manusia Indonesia.

Di dalam buku Cangkriman Punakawan entah sengaja atau tidak sengaja, sadar atau tidak sadar, saya menggubah kisah paradoks tentang Rahwana yang mengaku diri maha mampu ternyata tidak mampu menciptakan benda yang sedemikian berat sehingga dirinya sendiri tidak mampu mengangkat batu tersebut.

Di dalam khayalan paradoksal saya tersebut, Rahwana terjebak di dalam kesombongan dirinya sendiri. Suasana paradoksal makrokosmos di dalam mikrokosmos serta sebaliknya dapat ditemukan oleh mereka yang mau dan mampu menemukannya di dalam kisah Dewa Ruci.

Di dalam karya-karya kartun yang saya garap di Jerman ketika mencari nafkah sebagai kartunis pada beberapa surat kabar Jerman antara laun Muenstersche Zeitung dan Westdeutsche Allgemeine Zeitung yang sebagai antologi tergabung pada buku yang diterbitkan Elex Komputindo dengan judul Koleksi Kartun Jaya Suprana, menyelinap getaran paradoks sebagai satu di antara daya ekstetikal humor.

Karya kartun saya juga secara faktual maupun kontrafaktual menegaskan kenyataan bahwa pada hakikatnya humor tidak selalu lucu, analog karya seni tidak selalu indah akibat kata benda tidak wajib memonopoli kata sifat dan sebaliknya, sekaligus membuktikan bahwa pada hakikatnya tidak ada selera yang obyektif akibat selera niscaya subyektif.

Mohon dimaafkan bahwa saya yang alergi kata niscaya secara paradoks terpaksa menggunakannya di kalimat akhir naskah yang sedang Anda baca ini.

Helmy Yahya: Enggak Gitu Caranya Cari Viewer dan Uang Pengkhianatan linguistik ini terpaksa saya lakukan demi mengakhiri suasana bingungologis bak akar serabut makin merambah ke sana ke mari ke kanan ke kiri ke atas ke bawah ke luar ke dalam sehingga akrobat berakhir sebagai salto mortale makna paradoks.

Wajar, cukup banyak mahapemikir memaknakan paradoks sebagai labirin pemikiran yang potensial membuat pemikiran manusia tersesat sehingga wajar pula bahwa banyak pemikir fanatik-dogma cenderung alergi, bahkan fobia maka anti paradoks.

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.