KOPERASI ATAU KORPORASI NEGARA?
DILEMA PEMBANGUNAN KOPERASI DESA MERAH PUTIHl
Oleh : Feri Kurniawan
Anggota Forum Aktivis Koperasi Indonesia (FAKSI) dan Alumni IKOPIN.
Pemerintah Indonesia menggaungkan program 70.000 Koperasi Desa Merah Putih sebagai solusi pemerataan ekonomi berbasis kerakyatan. Namun, di balik narasi mulia ini, tersembunyi paradoks yang menganga, anggaran fantastis Rp350 triliun, ketergantungan pada APBN dan kredit Bank BUMN, dan mobialisasi 210.000 tenaga pendamping justru mengisyaratkan transformasi koperasi menjadi alat korporasi negara. Lebih mengkhawatirkan, kebijakan ini sulit dilepaskan dari kecurigaan sebagai bagian dari agenda politik elektoral 2024-2029, di mana jaringan koperasi akan dijadikan mesin patronase untuk mengonsolidasi dukungan di pedesaan, wilayah strategis dengan 57% populasi pemilih (BPS, 2023).
Secara prinsipil, koperasi adalah entitas otonom yang berdiri di atas nilai sukarela, demokrasi anggota, dan kemandirian (ICA, 1995). Namun, skema Koperasi Desa Merah Putih justru mengerdilkan prinsip tersebut. Anggaran Rp350 triliun, diciptakan bukan untuk memberdayakan, melainkan membangun ketergantungan sistemik. Intervensi melalui Bank BUMN sebagai penyedia modal utama dan 210.000 tenaga pendamping yang direkrut semakin mengukuhkan hipotesis bahwa program ini adalah proyek politik berkedok pemberdayaan. Dalam konteks elektoral, koperasi dapat dengan mudah disalahgunakan sebagai saluran distribusi bantuan sosial (bansos) atau program padat karya yang dikendalikan elite lokal, mirip pola yang digunakan Orde Baru melalui KUD untuk mengamankan suara Golkar (Husain, 2005).
Sejarah membuktikan, proyek ekonomi masif berbasis instruksi pemerintah kerap menjadi alat stabilisasi kekuasaan. KUD era Orde Baru yang dianggap “berhasil” pada 1980-an sesungguhnya berfungsi ganda, selain distribusi pupuk, ia menjadi alat mobilisasi politik dengan menciptakan ketergantungan petani pada program pemerintah (LPEM UI, 2020). Kini melaui Koperasi Desa Merah Putih berpotensi mengulang pola serupa dalam wajah yang berbeda. Jika ini terjadi pada Koperasi Desa Merah Putih, koperasi tidak hanya gagal sebagai lembaga ekonomi, tetapi juga terkubur dalam kubangan transaksi politik jangka pendek.
Bahaya lain terletak pada kooptasi birokrasi. Tenaga pendamping, yang direncanakan mencapai 210.000 orang, bukan hanya berperan sebagai fasilitator, tetapi juga dapat menjadi agen politik yang mengarahkan koperasi untuk mendukung program tertentu. Mekanisme ini persis seperti yang terjadi di banyak negara berkembang, proyek-proyek ekonomi kerakyatan sering kali dibajak menjadi alat membangun loyalitas politik.
Jika logika ini terus berlanjut, koperasi akan kehilangan rohnya sebagai gerakan partisipatoris. Alih-alih menjadi ruang demokrasi ekonomi, Koperasi Desa Merah Putih akan menjelma menjadi korporasi negara yang dikendalikan segelintir elite melalui anggaran dan birokrasi. Implikasinya jelas, kegagalan berlapis. Pertama, koperasi tidak mandiri karena bergantung pada kebijakan negara. Kedua, masyarakat desa, yang seharusnya menjadi subjek, ternyata hanya dijadikan objek politik. Ketiga, anggaran Rp350 triliun berisiko menguap dalam kubangan korupsi dan inefisiensi, sebagaimana terjadi pada kasus korupsi di desa 2023 yang merugikan negara Rp162,2 Milyar (ICW, 2023).
Koperasi sebagai Mesin Patronase 2029
Program 70.000 Koperasi Desa Merah Putih (KDMP) dengan anggaran Rp350 triliun tidak bisa dilepaskan dari siklus politik Indonesia yang memasuki fase pemilu 2024-2029. Anggaran besar untuk membiayai Koperasi Desa Merah Putih ini di legitimasi sebagai upaya pemerataan ekonomi, tetapi secara struktural berpotensi menjadi alat mobilisasi dukungan politik di pedesaan, tempat 57% pemilih Indonesia bermukim (BPS, 2023). Di era Orde Baru, KUD dijadikan alat distribusi pupuk bersyarat dukungan pada Golkar, di mana 70% KUD di Jawa Timur dikontrol oleh jaringan birokrasi lokal untuk mengamankan suara (Husain, 2005). Dengan skala lebih masif, Koperasi Desa Merah Putih berisiko mengulang praktik ini, anggaran triliunan dan 210.000 tenaga pendamping bisa dialihkan untuk membangun loyalitas politik, bukan kemandirian koperasi.
Intervensi Bank BUMN (Himbara) dalam pembiayaan Koperasi Desa Merah Putih memperkuat kecurigaan agenda politik terselubung. Bank-bank ini tidak hanya menjadi penyedia modal, tetapi juga berpotensi menjadi penyalur utang politik. Misalnya, koperasi yang loyal pada partai penguasa mungkin mendapat akses kredit lebih mudah, sementara yang kritis dipersulit. Di sisi lain, 210.000 tenaga pendamping yang direkrut berpotensi menjadi agen politik yang mengaitkan bantuan dengan dukungan elektoral. Jika Koperasi Desa Merah Putih dijalankan dengan logika serupa, koperasi akan berubah menjadi mesin pencetak suara, bukan ruang ekonomi partisipatif.
Jika Koperasi Desa Merah Putih dibajak menjadi alat patronase, dampaknya akan berlapis. Pertama, koperasi kehilangan otonomi karena keputusan bisnis dikendalikan oleh agenda politik. Kedua, masyarakat desa, yang seharusnya menjadi subjek pemberdayaan, hanya menjadi objek transaksi politik. Ketiga, anggaran Rp350 triliun berisiko menguap dalam kubangan korupsi. Lebih buruk lagi, praktik ini akan mengerdilkan demokrasi ekonomi, koperasi yang seharusnya menjadi ruang partisipasi warga justru dikangkangi oleh logika kekuasaan.
Prinsip Otonomi Koperasi yang Terabaikan
Koperasi, sebagai entitas ekonomi berbasis anggota, bertumpu pada prinsip sukarela, demokrasi, dan kemandirian. Menurut International Cooperative Alliance (ICA, 1995), koperasi harus lahir dari inisiatif kolektif masyarakat untuk memenuhi kebutuhan bersama, tanpa paksaan atau intervensi eksternal. Namun, kebijakan Koperasi Desa Merah Putih justru mengabaikan prinsip ini dengan memaksakan pembentukan 70.000 koperasi di seluruh desa. Padahal, data BPS (2023) menunjukkan bahwa dari 209 ribu koperasi yang ada, 40 Ribu diantaranya tidak aktif, sebagian besar justru mandek karena minim partisipasi anggota. Data ini pun sebenarnya merupakan fenomena gunung es, boleh jadi fakta sebenarnya jauh lebih banyak koperassi tidak aktif. Dengan kata lain, pemerintah mengulang kesalahan masa lalu, membangun koperasi atas nama masyarakat, bukan oleh masyarakat. Intervensi ini semakin nyata dalam skema permodalan, di mana koperasi diarahkan untuk bergantung pada kredit Bank BUMN (Himbara), bukan membangun modal dari simpanan anggota.
Intervensi negara dalam Koperasi Desa Merah Putih tidak hanya mengikis otonomi, tetapi juga mengubah koperasi menjadi korporasi negara yang dikendalikan secara birokratis. Anggaran sebesar Rp350 triliun, yang disalurkan melalui Bank BUMN dan tenaga pendamping pemerintah, menciptakan ketergantungan struktural. Koperasi baru akan terjebak dalam logika utang komersial (bunga 6-12% per tahun) alih-alih membangun kemandirian finansial. Di sisi lain, 210.000 tenaga pendamping yang direkrut pemerintah berpotensi menjadi “kepanjangan tangan” birokrasi, mengarahkan keputusan koperasi sesuai petunjuk teknis (juknis) Kementerian terkait. Yang terjadi kemudian Koperasi Desa Merah Putih menjadi proyek administrative dan politik, bukan gerakan ekonomi partisipatoris.
KUD Orde Baru: Dari Alat Politik ke Bangkai Ekonomi
Kebijakan Koperasi Unit Desa (KUD) era Orde Baru (1970–1998) menjadi bukti nyata kegagalan program top-down yang dikendalikan negara. Awalnya, KUD dibentuk untuk mendistribusikan pupuk dan mengumpulkan hasil pertanian, tetapi lambat laut berubah menjadi alat politik untuk mengontrol pedesaan. Data BPS (2000) mencatat, 80% dari 7.500 KUD kolaps pasca-1998 akibat ketergantungan pada subsidi pemerintah dan korupsi struktural. Di Jawa Tengah, misalnya, 60% dana KUD diselewengkan untuk membiayai proyek mercusuar pejabat lokal (Husain, 2005). Intervensi birokrasi seperti penunjukan ketua KUD oleh camat atau militer menghancurkan prinsip demokrasi anggota. Alih-alih menjadi tulang punggung ekonomi desa, KUD mati sebagai bangkai administrative, terbengkalai tanpa partisipasi masyarakat. Kegagalan ini menunjukkan bahwa koperasi yang dibangun melalui instruksi negara cenderung rapuh, karena tidak lahir dari kesadaran kolektif anggota.
Rencana 70.000 Koperasi Desa Merah Putih (KDMP) berpotensi mengulang pola KUD dengan risiko lebih besar. Jika Koperasi Desa Merah Putih dipaksakan tanpa partisipasi masyarakat, ia hanya akan menjadi proyek pencitraan yang menghabiskan anggaran, sementara akar masalah, seperti rendahnya literasi keuangan desa, tidak tersentuh.
Sintesis Kritik: Koperasi vs Korporasi Negara.
Kebijakan 70.000 Koperasi Desa Merah Putih mengaburkan batas antara koperasi sebagai gerakan ekonomi kerakyatan dan korporasi negara sebagai alat hegemoni. Di satu sisi, pemerintah mengklaim program ini sebagai upaya pemberdayaan, tetapi di sisi lain, intervensi melalui anggaran Rp350 triliun, dominasi Bank BUMN, dan 210.000 tenaga pendamping mengubah koperasi menjadi proksi negara dalam mengontrol ekonomi desa. Mekanisme ini mengingatkan pada praktik state corporatism, di mana negara mengkooptasi lembaga masyarakat untuk memperluas kekuasaannya. Koperasi yang seharusnya otonom justru terjebak dalam logika birokrasi, keputusan bisnis diarahkan oleh petunjuk teknis kementerian, modal bergantung pada utang Bank BUMN, dan keberlangsungan program dikaitkan dengan loyalitas politik. Alih-alih menjadi ruang demokrasi ekonomi, Koperasi Desa Merah Putih berubah menjadi korporasi berlabel “Merah Putih” yang dikendalikan segelintir elite.
Transformasi koperasi menjadi korporasi negara melahirkan risiko struktural yang destruktif. Pertama, ketergantungan pada anggaran dan kredit BUMN membuat koperasi rentan kolaps ketika dana dihentikan atau utang menumpuk. Kedua, intervensi birokrasi melalui tenaga pendamping mematikan partisipasi anggota. Ketiga, politisasi program menjadikan koperasi sebagai komoditas transaksi elektoral, bukan solusi ekonomi. Dampaknya, koperasi kehilangan fungsi ekonomi dan menjadi alat pencitraan politik, mirip dengan KUD Orde Baru yang mati sebagai bangkai administratif.
Untuk menghindari kegagalan berulang, negara harus mengembalikan koperasi pada khittahnya, gerakan ekonomi berbasis partisipasi, bukan proyek administratif. Alih-alih membangun 70.000 koperasi baru, pemerintah seharusnya memperkuat fundamental koperasi yang sudah ada.
Tanpa perubahan paradigma, Koperasi Desa Merah Putih hanya akan menjadi korporasi negara baru yang menghabiskan anggaran, mengulang kegagalan KUD, dan mengubur prinsip otonomi koperasi. Seperti diingatkan International Cooperative Alliance (1995), “koperasi bukanlah alat negara, tetapi alat rakyat.”