Emas, Kekuasaan, dan Luka yang Tak Pernah Sembuh

0
60

Emas, Kekuasaan, dan Luka yang Tak Pernah Sembuh

Yuval Noah Harari dalam “Sapiens” menulis, “Kekuatan besar tidak dibangun atas fakta, tapi atas narasi. Dan narasi yang dominan seringkali menutupi luka paling dalam.” Justru Poulgrain, dalam hal ini, mencoba merobek narasi dominan yang selama ini dibuat bercokol nyaman di kepala: bahwa Freeport adalah mitra, bukan predator.

Oleh : Darmawan Sepriyossa*

Di satu ruang diskusi bersahaja di bilangan Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, di siang itu bukan hanya gagasan yang berpendar. Tapi juga luka. Di bawah spanduk Great Lecture bertema “Geopolitik dan Intervensi di Asia Tenggara”, Great Institute menghadirkan sosok yang kerap disebut ‘penggali sejarah kelam’ Asia Tenggara: Dr. Greg Poulgrain.

Poulgrain datang bukan untuk memberi ceramah akademik yang manis dan steril. Ia membawa pisau bedah—bukan untuk mengobati, melainkan membuka luka: Papua, Freeport, dan nestapa yang tak kunjung usai.

Tapi hari itu, kami tidak hanya bicara tentang emas. Kami lebih banyak berbicara tentang ketidakadilan yang dipoles menjadi investasi, tentang eksploitasi yang dikemas sebagai pembangunan.

Ada yang khas dalam gaya tutur Poulgrain: ia bukan sejarawan yang sekadar menyusun kronologi, tapi penggali makna. Ia menyatukan geopolitik tingkat tinggi dengan wajah-wajah lokal yang remuk oleh keputusan-keputusan besar. Namun justru karena itu pula ia kerap dituduh sebagai penganut teori konspirasi.

“JFK vs Allen Dulles: Battleground Indonesia” adalah buku Poulgrain yang membuat banyak akademisi geleng kepala. Sebagian menyebutnya spekulatif, terlalu menghubungkan pembunuhan John F. Kennedy dengan kekayaan emas di Papua. Sebuah hipotesis yang, menurut mereka, sulit diverifikasi.

Tapi jika kita menyingkap ulang sejarah dengan hati-hati, bukankah banyak kebenaran awalnya selalu tampak sebagai “konspirasi”?

Yuval Noah Harari dalam “Sapiens” menulis, “Kekuatan besar tidak dibangun atas fakta, tapi atas narasi. Dan narasi yang dominan seringkali menutupi luka paling dalam.” Justru Poulgrain, dalam hal ini, mencoba merobek narasi dominan yang selama ini dibuat bercokol nyaman di kepala: bahwa Freeport adalah mitra, bukan predator.

Akademisi seperti Prof. Peter Dale Scott dari Berkeley—yang dikenal sebagai pendobrak studi deep politics—mendukung pendekatan seperti Poulgrain. “Narasi besar seperti pembunuhan JFK atau keterlibatan korporasi dalam rezim militer bukanlah mitos. Mereka bagian dari kenyataan yang sengaja disamarkan oleh negara dan media korporat,” tulis Scott dalam “The Road to 9/11”.

justru di sanalah nyalinya: ia menabrak pagar narasi yang dibuat negara-negara kuat, dan menolak tunduk pada tafsir yang dibakukan Washington DC atau London.

Ketika ia menyebut Indonesia sebagai penghasil emas nomor satu dunia, yang bisa ditambang dua abad ke depan, ia tidak sedang mengagumi kekayaan negeri ini. Ia sedang menampar kesadaran kolektif bahwa kekayaan itu menjadi kutukan, bukan keberkahan.

Dan jika benar satu gram emas per ton—seperti yang dinyatakan Freeport—mengapa tanah Papua tetap digali tanpa jeda? Seorang mantan Sekjen NATO, kata Poulgrain, menyebut angka itu “nonsense”. Tapi bahkan tanpa kutipan itu, kita tahu, tak ada korporasi yang membiayai operasi tambang raksasa berbiaya tinggi untuk satu gram per ton. Ini bukan filantropi.

Frantz Fanon pernah menulis: “When we revolt it’s not for a particular culture. We revolt simply because, for many reasons, we can no longer breathe. Ketika kami memberontak, itu bukan demi satu budaya tertentu. Kami memberontak semata-mata karena, oleh banyak alasan, kami tak bisa bernapas lagi.” Dan Papua, dalam keheningannya, sudah terlalu lama ditahan napasnya. Ditindih janji, ditekan konsesi.

Di ruang FGD itu, Poulgrain hanya salah satu suara. Tapi gema yang ia ciptakan memantul ke seluruh ruang waktu. Ia menantang kita menatap Papua bukan dari sudut peta, tapi dari sudut nurani. Sebab seperti kata Immanuel Kant, “Out of the crooked timber of humanity, no straight thing was ever made. Dari kayu bengkok kemanusiaan, tak pernah tercipta sesuatu yang sepenuhnya lurus.”

Kita tidak akan pernah menemukan keadilan sempurna. Tapi bukan berarti kita boleh diam pada ketimpangan yang brutal.

Kritik bahwa Poulgrain terlalu “konspiratif” harus dilihat dalam spektrum yang lebih adil. Dalam dunia akademik kontemporer, pendekatan interdisipliner—yang menggabungkan politik, ekonomi, sejarah, dan bahkan psikologi kekuasaan—diakui sebagai pendekatan sahih dalam membaca fenomena global. Poulgrain tidak asal menebar tuduhan, ia mengaitkan titik-titik sejarah yang memang selama ini tercerai: Dozy, Dulles, Kennedy, hingga Freeport. Dan ia melakukannya dengan keberanian intelektual yang tidak banyak dimiliki sejarawan pada umumnya.

Yang menolak itu bukan karena narasinya lemah, tapi karena ia terlalu tajam untuk dibiarkan.

Kita tidak butuh sejarawan yang netral. Kita butuh sejarawan yang berpihak pada kebenaran, meski kebenaran itu menyakitkan. Seperti Poulgrain.

Dan dari Great Lecture hari itu, satu harapan mengalir: agar pemerintah saat ini, dengan segala kekuasaan yang dipegang, bersedia melihat ulang apa yang selama ini dibenarkan hanya karena telah berlangsung lama.

Tak ada kata terlambat untuk menjadi adil. Tak ada kata usang untuk menjadi manusiawi. Papua layak bahagia. Bukan karena ia punya emas. Tapi karena ia juga Indonesia. [ ]

Jurnalis yang merasa muda. Artikel ini ditulis sebagai refleksi dan renungan atas diskusi FGD GREAT Institute bersama Dr. Greg Poulgrain, 5 Mei 2025.

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.