Tanggapan atas artikel “Menkeu Purbaya dan Hukum Kirchoff”

0
19

Tanggapan atas artikel “Menkeu Purbaya dan Hukum Kirchoff”

Oleh Gde Siriana Yusuf

Perspektif engineering (atau fisikalisme ekonomi) sering mengasumsikan bahwa sistem ekonomi bisa dikendalikan seperti rangkaian listrik atau fluida: asal arus dijaga, tekanan dikontrol, sistem akan stabil. Tapi dalam kenyataan ekonomi dan sosial, “partikel”-nya adalah manusia yang punya ekspektasi, kepercayaan, dan perilaku yang bisa berubah drastis—itulah yang bikin hukum-hukum ala fisika sering gagal dalam jangka panjang.

Analoginya:

1. Fisika = Sistem Tertutup, Ekonomi = Sistem Terbuka

Dalam fisika klasik (termasuk hukum Kirchhoff atau Bernoulli), sistem dianggap tertutup, dengan input dan output yang bisa diukur pasti.
Tapi ekonomi itu sistem terbuka, karena “energi” (uang, nilai, kepercayaan) terus keluar-masuk lewat psikologi publik, geopolitik, bahkan sentimen di media sosial.

Analogi: teknisi bikin drone stabil di ruang tertutup dengan kalkulasi aerodinamis yang presisi — tapi begitu dibawa ke luar ruangan, angin, suhu, dan turbulensi sosial bikin semua model berubah.

2. Hukum Kirchhoff vs. Liquidity Trap (Keynesian)

Purbaya benar kalau ia bilang arus uang harus mengalir. Tapi ekonomi makro punya paradoks: kadang uang mengalir justru tidak menimbulkan “arus” ekonomi.

Analogi Keynesian: Liquidity Trap — meskipun suku bunga rendah dan uang beredar banyak, orang tetap tidak mau belanja atau investasi karena mereka takut masa depan.
Jadi walaupun hukum Kirchhoff bilang arus harus keluar sama besar dengan yang masuk, dalam ekonomi “arus balik” itu bisa terhambat oleh trust dan expectation gap.
Kayak kabel yang resistansinya bukan cuma dari logamnya, tapi dari ketakutan listrik itu sendiri akan bikin korslet .

3. Bernoulli dalam Ekonomi vs. Animal Spirit (Keynes)

Kalau Bernoulli bilang tekanan menurun saat arus lancar, maka dalam ekonomi, “arus lancar” tidak selalu menurunkan tekanan sosial. Ketika uang lancar tapi distribusinya timpang (misalnya lewat perbankan BUMN, bukan UMKM), “tekanan sosial” justru meningkat.
Analogi: pipa fluida yang lancar di pusat pabrik tapi mampet di ujung pemukiman — tekanan justru meledak di masyarakat bawah.
Keynes menyebutnya “animal spirit”: perilaku emosional yang bikin orang bereaksi tidak linier terhadap stimulus ekonomi.

4. Dari Mekanistik ke Kompleksitas

Model engineering wise cocok di tahap krisis atau pemulihan jangka pendek, ketika pemerintah butuh kontrol cepat dan kepastian. Tapi dalam jangka panjang, ekonomi butuh logika adaptif dan evolusioner, bukan mekanistik.

Analoginya,  seseorang bisa setel sistem audio pakai rumus listrik agar suara keluar — tapi untuk bikin musik enak, ini butuh “rasa”, bukan rumus.

Jadi, kesimpulannya, pendekatan fisika bisa bantu stabilisasi (short-term control), tapi bukan sustainability (long-term adaptation).

Di fase jangka panjang, faktor psikologis, kepercayaan publik, ekspektasi moneter, dan politik jauh lebih menentukan arah ekonomi daripada arus uang yang diatur secara mekanik.

1. Amerika dan Eropa sebelum krisis finansial 2008.

Model ekonomi utama di bank sentral (The Fed, ECB) waktu itu pakai pendekatan mirip fisika:

– sistem diasumsikan tertutup,

– agen rasional,

– setiap guncangan (shock) bisa dimodelkan matematis seperti energi dalam sistem mekanik,

– dan pada akhirnya sistem akan “kembali ke keseimbangan” (kayak hukum Newton atau termodinamika).

Masalahnya, ekonomi bukan sistem fisik — begitu krisis kepercayaan muncul (subprime mortgage 2007–2008), semua persamaan itu hancur.
Likuiditas membeku, perilaku manusia irasional, dan model DSGE yang katanya bisa memprediksi “arus keuangan” gagal sama sekali.

Alan Greenspan, arsitek kebijakan The Fed era 1990–2006, bahkan mengaku di Kongres AS:
“Saya menemukan celah dalam model saya. Asumsi bahwa pelaku pasar selalu rasional — ternyata salah.”

Analogi fisika: kayak insinyur listrik yang percaya arus selalu mengalir sesuai hukum Kirchhoff, tapi lupa bahwa “kabelnya” bisa diputus manusia karena panik.

2. Teori Efisiensi Pasar (Efficient Market Hypothesis) — Bernoulli Gagal di Pasar Modal

Contoh: Krisis Dotcom (2000) dan Bitcoin Bubble (2021).

Teori ini mirip hukum fluida Bernoulli:
jika arus informasi (berita, analisis, laporan) lancar, maka harga pasar akan “tepat” mencerminkan nilai sebenarnya — tekanan (volatilitas) menurun.

Tapi kenyataannya, pasar keuangan bukan fluida.
Begitu arus informasi terlalu cepat (media sosial, AI trading, rumor), justru tekanan makin tinggi.

Kita lihat harga saham dan crypto bisa naik 1000% lalu runtuh dalam hitungan minggu — gejala turbulensi bukan equilibrium.

Kenapa gagal?
Karena manusia bukan molekul air — mereka punya rasa takut, serakah, ikut-ikutan (herd behavior).

3. Hukum Konservasi Energi dalam Ekonomi Soviet

Contoh: Perencanaan ekonomi Uni Soviet (1930–1980).

Perencana ekonomi Soviet banyak terinspirasi dari prinsip fisika klasik —
bahwa energi (atau dalam konteks ini, “nilai ekonomi”) tidak bisa diciptakan atau dimusnahkan, hanya dialihkan antar sektor.
Jadi mereka mendesain sistem ekonomi seperti mesin industri raksasa: bahan baku masuk, produk keluar, tenaga kerja dan modal dihitung matematis.

Dalam jangka pendek (1930–1960-an), sistem ini efisien luar biasa — output industri naik gila-gilaan.
Tapi dalam jangka panjang, sistem itu kolaps, karena mereka lupa satu hal yang tidak bisa dimodelkan secara fisika: motivasi dan kreativitas manusia.

Begitu insentif hilang dan “arus informasi” (dari bawah ke atas) macet karena politik, sistem ekonomi macet total — kayak mesin overheat yang kehilangan pendingin.

4. Modern Monetary Theory (MMT) — Eksperimen “Energi Tak Terbatas”

Contoh: Jepang 1990–2020, dan sebagian Amerika pasca-COVID.

MMT berasumsi pemerintah bisa terus mencetak uang selama inflasi bisa dikontrol — mirip konsep perpetual motion machine dalam fisika: energi bisa berputar terus selama sistem seimbang.

Dalam jangka pendek, memang berhasil:

– Jepang menghindari krisis besar meski utang publik >250% PDB,

– AS tumbuh cepat setelah 2020 lewat stimulus raksasa.

Tapi dalam jangka panjang, muncul distorsi struktural:

– produktivitas stagnan,

– upah riil menurun,

– “uang panas” mengalir ke aset spekulatif.

Mirip mesin yang terus dipaksa bekerja di luar kapasitas termal: nggak meledak hari ini, tapi efisiensinya turun pelan-pelan sampai berhenti total.

5. Climate Economics dan Model Iklim Makro (IAM)

Contoh: Model ekonomi global untuk memprediksi dampak perubahan iklim.

Para ekonom meminjam model fisika atmosfer untuk menghitung “biaya sosial karbon”.
Tapi begitu diterapkan dalam ekonomi-politik, hasilnya sangat meleset.
Sebab reaksi manusia terhadap krisis iklim — dari gaya hidup, resistensi politik, hingga lobi korporasi — tidak bisa dimasukkan ke persamaan energi atau entropi.

Kesimpulan dari contoh nyata di atas:

Semua hukum fisika bekerja di dunia deterministik, sementara ekonomi beroperasi di dunia probabilistik dan psikologis.

Selama manusia punya free will, expectation, dan power relation, hukum-hukum fisika akan terus gagal menjelaskan arah jangka panjang ekonomi.

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.