Trilogi Indonesinomics
Artikel Kedua
Indonesinomics dalam Tindakan: Agenda 10–20 Tahun Menuju Ekonomi Partisipatif Berkeadilan Sosial
Oleh Gde Siriana Yusuf
Catatan Redaksi:
Tulisan ini merupakan lanjutan dari artikel sebelumnya, berjudul “Indonesinomics: Jalan Baru Ekonomi Pancasila di Abad ke-21,” yang menguraikan fondasi filosofis dan konseptual dari sistem ekonomi partisipatif berkeadilan sosial berbasis nilai-nilai Pancasila.
Jika artikel pertama membahas “mengapa” Indonesinomics diperlukan, maka tulisan ini menyoroti “bagaimana” sistem tersebut dapat dioperasionalkan dalam kebijakan nyata 10–20 tahun ke depan.
Pendahuluan: Dari Ide ke Gerak Nyata
Gagasan Indonesinomics tidak dimaksudkan sebagai teori abstrak, tetapi sebagai panduan tindakan ekonomi bangsa yang berpijak pada nilai-nilai Pancasila. Setelah tiga dasawarsa liberalisasi, ekonomi Indonesia masih menunjukkan paradoks: pertumbuhan tinggi namun ketimpangan melebar, digitalisasi pesat tetapi partisipasi rakyat stagnan.
Kini, diperlukan lompatan konseptual — menjadikan etika, partisipasi, dan kemandirian sebagai pilar kebijakan ekonomi jangka panjang.
Indonesinomics menawarkan peta jalan baru yang berpijak pada tiga kekuatan: kelembagaan rakyat, transparansi negara, dan integrasi ekonomi digital-hijau yang berkeadilan. Namun agar ide ini tidak berhenti di ranah moralitas, ia memerlukan tahapan yang jelas, indikator terukur, dan desain kelembagaan yang memastikan keberlanjutan.
Inilah agenda 10–20 tahun Indonesinomics.
I. Agenda 10–20 Tahun ke Depan — Dari Fondasi ke Kedaulatan Ekonomi
Transformasi menuju ekonomi partisipatif berkeadilan sosial tidak terjadi seketika. Ia menuntut perjalanan evolutif dalam tiga fase besar: fondasi kelembagaan, konsolidasi ekonomi rakyat, dan kedaulatan nilai tambah nasional.
Fase I: Fondasi Kelembagaan (2025–2030)
Lima tahun pertama menjadi tahap paling krusial: membangun kerangka hukum dan institusi baru.
Negara perlu membentuk Dewan Ekonomi Nasional Independen (DENI) — lembaga non-eksekutif yang mengawasi arah kebijakan ekonomi nasional agar selaras dengan prinsip keadilan sosial dan transparansi.
Bersamaan dengan itu, dibentuk Dana Keadilan Sosial Nasional (DKSN) untuk mengonsolidasikan sumber dana publik dari pajak progresif, dividen BUMN, dan royalti sumber daya alam. Dana ini dikelola untuk mendukung redistribusi aset, pendidikan, dan energi rakyat.
Pada tahap ini pula, koperasi data mulai diuji coba di sejumlah daerah — memperkenalkan model kepemilikan digital oleh komunitas.
Di dunia pendidikan, kurikulum ekonomi moral dan kewirausahaan sosial dimasukkan ke dalam sistem pendidikan menengah dan tinggi.
Fase ini bukan sekadar teknokratis, tetapi ideologis: membentuk kesadaran baru bahwa ekonomi adalah instrumen kemanusiaan, bukan sebaliknya.
Fase II: Konsolidasi Ekonomi Rakyat (2030–2040)
Dekade kedua merupakan masa penguatan kapasitas rakyat sebagai pelaku ekonomi utama.
Seluruh daerah diharapkan telah memiliki BUMDes 4.0, yaitu badan usaha desa yang tidak hanya mengelola pangan dan energi, tetapi juga data dan layanan publik digital.
Koperasi digital tumbuh menjadi pusat nilai tambah lokal, memperpendek rantai pasok nasional, dan memastikan sebagian besar keuntungan tetap berada di tangan rakyat.
Pemerintah memperluas program dividen rakyat nasional, di mana hasil BUMN strategis dibagikan secara proporsional melalui DKSN.
Target utama pada fase ini adalah kemandirian energi berbasis komunitas — minimal 30 persen energi nasional dikelola oleh koperasi energi rakyat dan desa.
Pada fase ini pula, transparansi fiskal diperkuat dengan platform Open Data Dashboard, memungkinkan publik memantau proyek strategis nasional secara real time.
Fase konsolidasi ini adalah jantung Indonesinomics: rakyat menjadi produsen dan pengambil keputusan, sementara negara berperan sebagai fasilitator solidaritas, bukan penguasa ekonomi.
Fase III: Kedaulatan Nilai Tambah Nasional (2040 dan Seterusnya)
Setelah struktur partisipasi rakyat mapan, Indonesia bergerak ke tahap kedaulatan ekonomi sejati.
Pada titik ini, bangsa tidak lagi mengekspor sumber daya mentah, melainkan produk dan inovasi berbasis pengetahuan serta solidaritas sosial.
Koperasi data nasional menguasai arus informasi strategis, sementara universitas dan startup rakyat membentuk jaringan inovasi yang memperkuat kedaulatan teknologi.
Energi terbarukan menjadi tulang punggung pembangunan, dan keseimbangan ekologis menjadi indikator utama keberhasilan ekonomi.
Keadilan sosial bukan lagi jargon politik, melainkan ukuran nyata kesejahteraan yang terpantau melalui Indeks Keadilan Sosial Nasional (IKSN).
Fase ini menandai puncak Indonesinomics — sebuah sistem ekonomi yang efisien tanpa kehilangan kemanusiaan, modern tanpa melepaskan akar nilai Pancasila.
II. Desain Kelembagaan, Pembiayaan, dan Pengawasan
1. Kelembagaan
Struktur kelembagaan Indonesinomics menempatkan negara sebagai fasilitator solidaritas.
DENI berfungsi mengawal arah kebijakan ekonomi, DKSN menjadi sumber pembiayaan partisipatif, dan BUMDes serta koperasi digital menjadi motor ekonomi lokal.
Hubungan pusat-daerah dirombak berdasarkan asas keadilan sosial, bukan pertumbuhan semata.
2. Pembiayaan
Sumber utama pembiayaan berasal dari tiga instrumen:
– Pajak progresif atas rente dan kepemilikan pasif,
– Dividen rakyat dari BUMN strategis,
– Insentif fiskal hijau dan digital bagi koperasi energi dan data.
Tujuannya bukan memperbesar beban fiskal, tetapi mengalihkan aliran dana dari konsumsi elitis menuju produktivitas rakyat.
3. Pengawasan
Mekanisme pengawasan bersifat partisipatif.
Selain audit keuangan, dilakukan audit sosial bersama universitas dan komunitas lokal.
Setiap proyek strategis nasional wajib melaporkan dampak sosial, ekologis, dan kesetaraan gender.
Transparansi publik dijamin melalui Open Data Dashboard, di mana masyarakat dapat memantau seluruh kebijakan fiskal, subsidi, dan proyek nasional.
III. Indikator Keberhasilan dan Etika Pengukuran
Keberhasilan Indonesinomics tidak diukur dari PDB, tetapi dari kualitas kehidupan.
Indikator teknisnya mencakup:
– Rasio Gini, kepemilikan aset rakyat, dan akses pendidikan & kesehatan,
– Partisipasi publik dalam perumusan kebijakan,
– Proporsi energi terbarukan, dan kontribusi koperasi terhadap PDB.
Sementara indikator moralnya mengacu pada lima sila Pancasila:
– Keadilan sosial tercermin dari distribusi aset,
– Kerakyatan dari partisipasi publik,
– Kemanusiaan dari pekerjaan yang layak,
– Kemandirian dari kedaulatan pangan dan energi,
– dan Keseimbangan ekologis dari keberlanjutan alam.
Penutup — Ekonomi yang Berjiwa, Negara yang Berfasilitasi
Indonesinomics bukan sekadar sistem ekonomi baru, tetapi jalan moral bagi bangsa Indonesia.
Ia menolak dikotomi lama antara pasar bebas dan etatisme, menawarkan sintesis berbasis partisipasi, solidaritas, dan transparansi.
Ekonomi yang dijalankan bukan oleh elite, tapi oleh rakyat yang berdaya; bukan untuk pertumbuhan semata, tapi untuk keadilan sosial.
Sebagaimana prinsip dasarnya: “Indonesinomics menempatkan manusia sebagai pusat nilai tambah, negara sebagai fasilitator solidaritas, dan alam sebagai mitra keberlanjutan.”
Inilah saatnya Indonesia tidak lagi menjadi pasar, tapi pencipta arah ekonomi baru dunia — ekonomi yang berjiwa, adil, dan berkelanjutan.
29/12025
Gde Siriana Yusuf
adalah Direktur Eksekutif Indonesia Future Studies (iNFUS) dan kandidat doktor Ilmu Politik di Universitas Padjadjaran
















