Trilogi Indonesinomics
Artikel Pertama
Indonesinomics: Jalan Baru Ekonomi Pancasila di Abad ke-21
Oleh Gde Siriana Yusuf
Pendahuluan: Krisis Arah Ekonomi dan Kembalinya Pertanyaan Dasar
Tiga dasawarsa setelah liberalisasi ekonomi, Indonesia masih hidup dalam paradoks: pertumbuhan tinggi tapi ketimpangan melebar, digitalisasi pesat tapi partisipasi rakyat stagnan. Krisis pandemi dan perubahan iklim menyingkap kenyataan bahwa ekonomi nasional masih berpihak pada akumulasi modal, bukan kemanusiaan.
Dalam konteks inilah, muncul kebutuhan untuk memperbarui fondasi ideologis dan sistemik ekonomi Indonesia. Gagasan Indonesinomics hadir sebagai upaya menjawab kekosongan itu — bukan sekadar jargon baru, melainkan kerangka konseptual yang menggabungkan nilai-nilai Pancasila dengan realitas ekonomi digital, hijau, dan partisipatif.
Latar Historis dan Perdebatan Konsep Ekonomi Pancasila
Sejak Proklamasi 1945, arah ekonomi Indonesia selalu berayun di antara dua kutub ekstrem: kapitalisme liberal dan etatisme negara. Soekarno dan Hatta sama-sama menolak keduanya, tetapi dengan jalan tafsir yang berbeda.
Bung Hatta memperkenalkan gagasan demokrasi ekonomi, menempatkan koperasi sebagai pilar utama agar rakyat menjadi pelaku, bukan objek pembangunan. Ia menulis, “Koperasi adalah usaha bersama untuk memperbaiki nasib penghidupan ekonomi berdasarkan tolong-menolong.” Gagasannya berorientasi pada partisipasi dan moralitas sosial, bukan sekadar pertumbuhan material.
Namun sejak 1950-an, semangat itu bergeser menjadi etatisme pembangunan. Negara menguasai alat-alat produksi lewat BUMN dan birokrasi, sementara rakyat menjadi penonton. Pada masa Orde Baru, kontrol negara kemudian beralih menjadi kapitalisme birokratis — ekonomi tumbuh pesat tapi terkonsentrasi pada segelintir elite.
Setelah Reformasi, muncul kembali upaya menghidupkan Ekonomi Pancasila melalui pemikiran Prof. Mubyarto. Ia merumuskan ekonomi Pancasila sebagai sistem yang berorientasi pada keadilan sosial, keseimbangan antara efisiensi dan pemerataan, serta kesejahteraan kolektif. Namun gagasan ini berhenti di level normatif — tanpa operasionalisasi kelembagaan, indikator, atau mekanisme pengawasan.
Memasuki abad ke-21, muncul istilah seperti “Jokowinomics,” “inclusive growth,” “green economy,” dan “digital economy.” Tapi semuanya tetap berakar pada logika kapitalisme global — mengejar efisiensi dan pertumbuhan, bukan keadilan dan partisipasi.
Mengapa Indonesinomics Berbeda
Indonesinomics hadir sebagai generasi baru dari ekonomi Pancasila, yang bukan hanya berlandaskan etika, tetapi juga memiliki struktur konseptual dan alat ukur kebijakan.
Ia menjawab tiga kekosongan besar dalam sejarah ekonomi Indonesia:
1. Kelembagaan rakyat – bagaimana rakyat menjadi subjek produksi, bukan sekadar penerima manfaat.
2. Transparansi dan akuntabilitas negara – agar kekuatan negara tidak berubah menjadi etatisme baru.
3. Integrasi nilai Pancasila dengan era digital dan hijau – menjadikan solidaritas sosial relevan di tengah disrupsi teknologi dan krisis iklim.
Dengan fondasi historis itu, Indonesinomics lahir bukan sebagai slogan baru, melainkan sebagai sintesis filosofis, konseptual, dan kebijakan yang berakar pada nilai bangsa dan berorientasi pada masa depan.
I. Dimensi Filosofis — Manusia, Alam, dan Keadilan
Indonesinomics berangkat dari kesadaran bahwa sistem ekonomi tidak netral; ia memuat pandangan tentang manusia, negara, dan alam. Kapitalisme melihat manusia sebagai homo economicus — rasional, kompetitif, dan individualistis. Sosialisme memandang manusia sebagai bagian dari kolektivitas kelas. Keduanya gagal menangkap sisi khas manusia Indonesia: sosial, spiritual, dan ekologis.
Filosofi Indonesinomics berakar pada Pancasila, terutama tiga sila utama:
– Kemanusiaan yang adil dan beradab → ekonomi beretika dan anti-eksploitasi.
– Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan → demokrasi ekonomi partisipatif.
– Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia → distribusi nilai tambah dan akses setara terhadap sumber produksi.
Dalam pandangan ini, manusia adalah subjek ekonomi, bukan sekadar faktor produksi. Negara bukan penguasa ekonomi, tetapi fasilitator solidaritas. Alam bukan objek eksploitasi, melainkan mitra produksi yang menuntut tanggung jawab moral.
Prinsip-prinsip dasarnya mencakup:
– Gotong royong – kolaborasi dalam produksi dan distribusi.
– Keadilan sosial – akses setara atas aset dan hasil.
– Kemandirian nasional – penguasaan rakyat atas sumber daya strategis.
– Keseimbangan ekologis – pertumbuhan selaras dengan daya dukung alam.
– Etika kemanusiaan – ekonomi tunduk pada nilai moral, bukan sebaliknya.
II. Dimensi Sistem Konseptual — Bangunan Ekonomi Partisipatif
Jika kapitalisme menekankan kebebasan pasar dan sosialisme menekankan kontrol negara, maka Indonesinomics menawarkan jalan etik ketiga: partisipasi rakyat sebagai pusat nilai tambah.
Empat pilar konseptualnya adalah:
1. Demokrasi ekonomi – setiap warga memiliki hak dan kapasitas untuk ikut serta dalam produksi dan pengambilan keputusan ekonomi.
2. Ekonomi solidaritas – kolaborasi antarsektor dan antarwilayah untuk mencegah monopoli dan oligarki.
3. Nilai tambah nasional – fokus pada produksi, inovasi, dan kedaulatan data sebagai sumber kesejahteraan.
4. Keadilan ekologis – memastikan pembangunan memperhitungkan keberlanjutan lintas generasi.
Model hubungan aktor dalam sistem ini sederhana namun revolusioner:
Negara → Rakyat → Pasar.
Negara menciptakan regulasi dan ekosistem yang adil; rakyat menjadi subjek pencipta nilai; pasar berfungsi sebagai alat, bukan tujuan.
Dengan demikian, Indonesinomics mengembalikan ekonomi kepada tujuan aslinya: mensejahterakan manusia, bukan memuja modal.
III. Dimensi Empirik — Tantangan dan Potensi Indonesia
Ekonomi Indonesia menampilkan dua wajah. Di satu sisi, kemajuan digitalisasi telah melahirkan jutaan pelaku ekonomi baru: pengemudi ojek daring, kreator konten, petani e-commerce, hingga koperasi digital. Namun di sisi lain, nilai tambah ekonomi digital masih terkonsentrasi pada segelintir platform besar, menciptakan ketimpangan baru berbasis algoritma.
Karena itu Indonesinomics mendorong tiga koreksi besar:
1. Redistribusi nilai tambah digital – rakyat harus ikut memiliki dan mengendalikan data serta platform melalui koperasi digital.
2. Ekonomi hijau partisipatif – transisi energi dan industri hijau harus berbasis komunitas, bukan investasi korporasi semata.
3. Transparansi fiskal dan audit sosial – publik berhak mengawasi proyek strategis dan alokasi subsidi agar sejalan dengan nilai keadilan sosial.
Data empiris menunjukkan 1% populasi menguasai lebih dari 40% aset finansial nasional, sementara 90% UMKM menyumbang 60% PDB dengan margin rendah. Kondisi ini menegaskan urgensi reorientasi sistem ekonomi menuju pemerataan kepemilikan dan partisipasi produktif — inti ruh Indonesinomics.
IV. Dimensi Operasional — Dari Nilai ke Kebijakan
Indonesinomics tidak berhenti pada moralitas. Ia menjadi kerangka kebijakan 10–20 tahun yang konkret:
1. Pemerataan kepemilikan aset produktif melalui pajak progresif, dana dividen rakyat, dan reforma agraria digital.
2. Peningkatan kontribusi ekonomi komunitas – koperasi, BUMDes, dan usaha sosial sebagai pilar ekonomi nasional.
3. Kemandirian energi dan pangan berbasis komunitas – energy-sharing village dan community food network.
4. Digitalisasi rakyat – platform data nasional terbuka, perlindungan pekerja digital, dan inovasi lokal.
5. Pendidikan ekonomi moral – integrasi etika Pancasila, ekonomi partisipatif, dan kewirausahaan sosial ke kurikulum.
Keberhasilannya diukur bukan dari PDB semata, melainkan dari indikator keadilan sosial:
rasio Gini, kepemilikan aset rakyat, partisipasi publik, indeks pekerjaan layak, dan kontribusi energi terbarukan.
V. Desain Turunan: Kelembagaan, Pembiayaan, dan Akuntabilitas
1. Desain Institusional
– Pembentukan Dewan Ekonomi Nasional Independen untuk mengawasi arah kebijakan ekonomi tahunan.
– Desentralisasi berbasis keadilan sosial menggantikan pola transfer berbasis pertumbuhan.
– Revitalisasi koperasi digital dan BUMDes sebagai sarana demokrasi ekonomi.
2. Desain Pembiayaan dan Insentif
– Pajak progresif atas rente dan kepemilikan pasif sebagai sumber Dana Keadilan Sosial Nasional.
– Dividen Rakyat Nasional dari keuntungan BUMN strategis dan royalti SDA.
– Insentif fiskal hijau dan digital mendorong pembentukan koperasi data dan energi rakyat.
3. Desain Pengawasan dan Evaluasi
– Indeks Keadilan Sosial Nasional (IKSN) sebagai alat ukur kesejahteraan berbasis partisipasi dan pemerataan.
– Open Data Dashboard untuk transparansi fiskal dan proyek nasional.
– Audit sosial partisipatif melibatkan universitas dan komunitas lokal.
VI. Penutup — Ekonomi untuk Manusia, Bukan Modal
Di tengah kebuntuan kapitalisme global dan keletihan terhadap jargon “ekonomi Pancasila” yang kehilangan arah, Indonesinomics menawarkan jalan baru: ekonomi berbasis partisipasi, solidaritas, dan keadilan sosial yang konkret.
Sebagaimana dirumuskan: “Indonesinomics merupakan sistem ekonomi partisipatif berkeadilan sosial yang berakar pada nilai-nilai Pancasila, mengutamakan kedaulatan rakyat dalam produksi nilai tambah, dan menjadikan negara sebagai fasilitator solidaritas ekonomi. Ia bekerja melalui demokrasi ekonomi, transparansi kebijakan, serta pengelolaan sumber daya yang beretika dan berkelanjutan.”
Inilah saatnya Indonesia berhenti meniru kapitalisme Barat atau sosialisme Timur, dan menegaskan jati dirinya sendiri: ekonomi manusiawi yang berpihak pada rakyat dan planet.
Indonesinomics bukan sekadar ide — ia adalah arah baru bangsa.
28/10/2025
Gde Siriana Yusuf adalah Direktur Eksekutif Indonesia Future Studies (iNFUS) dan kandidat doktor Ilmu Politik di Universitas Padjadjaran.
















