Ujian Purbaya dan Musuh dalam Selimut Prabowo

0
26

Pengantar Artikel

Di tengah kejenuhan publik terhadap wajah ekonomi yang penuh angka tapi minim arah moral, kemunculan Purbaya Yudhi Sadewa memantik percakapan baru. Ia muncul bukan dari panggung politik, melainkan dari ruang teknokrasi yang biasanya sunyi. Tapi nada bicaranya yang tegas, kritiknya yang tajam, dan visinya yang berani menantang status quo membuatnya segera menjadi sorotan. Dalam waktu singkat, nama Purbaya menjelma simbol harapan — dan sekaligus ujian bagi rezim Prabowo yang tengah mencari keseimbangan antara keberanian reformasi dan loyalitas lama yang menjeratnya.

Ujian Purbaya dan Musuh dalam Selimut Prabowo

 

Oleh Gde Siriana Yusuf

Fenomena Purbaya Yudhi Sadewa yang tiba-tiba mencuri perhatian publik membuka babak baru dalam dinamika kekuasaan era Prabowo. Publik yang sempat jenuh oleh gaya komunikasi ekonomi yang kaku dan penuh jargon, kini menemukan sosok yang berbicara dengan logika tajam, kalimat lugas, dan keberanian menyentuh akar persoalan ekonomi nasional.

Ia menjadi antitesis dari teknokrat era Jokowi yang cenderung berhitung tanpa arah moral dan lebih sibuk menjaga narasi stabilitas ketimbang menantang ketimpangan struktural. Kegairahan publik terhadap figur baru seperti Purbaya mencerminkan efek placebo politik: harapan terhadap perubahan sering kali tumbuh lebih cepat daripada hasil kebijakan itu sendiri.

Namun kemunculan Purbaya di garis depan kebijakan ekonomi tak bisa dilepaskan dari konteks politik yang lebih dalam. Ia bukan hanya ekonom rasional, melainkan simbol pergeseran arah: dari stabilitokrasi menuju reformasi struktural. Di tengah kultur birokrasi yang terbiasa berbicara dengan bahasa kompromi dan eufemisme, Purbaya justru menampilkan gaya komunikasi yang konfrontatif terhadap ketidakefisienan, pemborosan, dan praktik rente.

Ia bicara dengan nada teknokratis, tapi sarat makna politik. Setiap pernyataannya — tentang pengendalian utang, efisiensi BUMN, atau evaluasi proyek warisan Jokowi — sesungguhnya merupakan pesan moral terhadap rezim sendiri: bahwa keberanian berbicara dengan data adalah bentuk baru dari keberanian berpolitik.

Gaya komunikasi inilah yang membedakan Purbaya dari banyak pejabat lain di kabinet. Ia tidak berbicara untuk menenangkan pasar atau menyenangkan istana, melainkan untuk mengguncang cara berpikir. Dalam sistem politik yang masih terjebak pada kalkulasi patronase, suara seperti ini mudah dianggap “tidak loyal”, padahal justru merupakan ekspresi loyalitas yang lebih tinggi — loyalitas pada kepentingan publik, bukan pada figur atau jaringan.

Polemik antara Purbaya dan berbagai pihak — dari Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi, Apkasi, hingga Menteri Investasi Bahlil Lahadalia — memperlihatkan bahwa semangat efisiensi fiskal ternyata bisa mengguncang kenyamanan politik lama.

Di satu sisi, langkah Purbaya mencerminkan semangat reformasi birokrasi dan disiplin fiskal. Namun di sisi lain, konflik itu menyingkap disintegrasi administrasi negara: kementerian dan lembaga yang berjalan dengan komando ganda, antara garis kebijakan baru dan bayang-bayang patronase lama. Purbaya dengan lugas menyentuh wilayah yang selama ini dianggap tabu: struktur rente yang hidup dari proyek dan dana transfer, dari BUMN hingga daerah.

Dalam konteks ini, muncul pula pertanyaan lebih luas: apakah target ambisius pemerintah dalam hal pertumbuhan ekonomi, penyerapan tenaga kerja, dan peningkatan GNP per kapita benar-benar tercapai? Dalam tahun pertama pemerintahan Prabowo, sejumlah indikator justru menunjukkan deviasi dari target: realisasi penerimaan pajak belum mencapai proyeksi, serapan tenaga kerja masih rendah, dan program unggulan MBG — yang semula digadang sebagai motor kemandirian pangan dan penguatan ekonomi rakyat — tersandung pada masalah mutu gizi, tumpang tindih pelaksanaan, serta belum matangnya sinkronisasi distribusi modal usaha.

Interaksi antara pelaku usaha pertanian pangan dengan satuan dapur, yang diharapkan membentuk rantai produksi efisien, masih terhambat oleh regulasi yang belum menjamin tata kelola yang mapan dan berkelanjutan. Bila pasang-surut semacam ini terus menyelimuti, bukan mustahil hal itu akan menjadi penghalang bagi pemerintahan untuk memperoleh dukungan dan legitimasi politik dari basis rakyat di periode berikutnya.

Di sinilah muncul fenomena yang lebih dalam: musuh dalam selimut pemerintahan Prabowo. Banyak figur kunci di kabinet, lembaga, maupun BUMN yang sebenarnya adalah warisan dari sistem lama — orang-orang yang dibentuk oleh jaringan Jokowi, terikat oleh kepentingan proyek, atau menjadi bagian dari oligarki hibrid — kombinasi antara modal, birokrasi, partai politik, aparat keamanan, yang selama satu dekade terakhir menjadi tulang punggung kekuasaan.

Mereka masih memegang posisi strategis, mengendalikan aliran anggaran dan kebijakan, serta menahan laju reformasi agar tetap dalam koridor yang aman bagi kepentingan lama. Mereka inilah yang berpotensi menjadi faktor penghambat terbesar bagi reformasi fiskal dan restrukturisasi ekonomi yang didorong Purbaya.

Dalam bahasa politik, mereka bukan oposisi formal, melainkan internal saboteur — loyal secara simbolik, tapi menunda, memelintir, atau mengaburkan arah kebijakan demi melindungi jaringan rente.

Inilah yang disebut sebagai loyalty trap: ketika kekuasaan baru mewarisi mesin politik lama yang masih aktif dan setia pada patron sebelumnya.

Prabowo kini bukan hanya menghadapi tantangan ekonomi, tetapi juga tantangan loyalitas ganda — antara birokrat yang masih terikat patronase Jokowi dan teknokrat baru yang menuntut disiplin sistemik. Yang kini dipertaruhkan bukan sekadar ego pejabat atau perbedaan pandangan fiskal, tetapi arah konsolidasi kekuasaan: apakah akan mengarah ke meritokrasi atau kembali pada politik transaksional.

Selama satu dekade, Jokowi membangun sistem kekuasaan berbasis oligarki hibrid yang efisien dalam mempertahankan stabilitas, tapi rapuh dalam membangun integritas dan akuntabilitas. Saat Prabowo naik, ia tidak mewarisi sistem pemerintahan baru, melainkan mesin patronase lama yang masih aktif di semua lapisan kekuasaan.

Karena itu, langkah-langkah awal Purbaya untuk menertibkan fiskal daerah, menyoroti proyek Kereta Cepat, atau mengkritik pemborosan BUMN menjadi simbol perlawanan terhadap struktur warisan tersebut.

Loyalty trap di eksekutif sangat mungkin beresonansi ke legislatif bilamana kebijakan-kebijakan Purbaya yang tegas mulai menyentuh kepentingan elite partai—terutama mereka yang terlibat dalam kasus korupsi besar dan proyek bermasalah di era Jokowi. Ini berpotensi memicu perpecahan dalam koalisi besar Prabowo. Regrouping faksi-faksi di DPR akan bisa diamati publik, terutama dalam pembahasan RUU Perampasan Aset dan isu sensitif seperti kemungkinan pemakzulan Gibran.

Koalisi besar hasil Pilpres 2024 tak bisa dianggap sekutu permanen. Sejarah politik Indonesia menunjukkan bahwa koalisi pasca-pemilu cenderung transaksional ketimbang ideologis. Begitu sumber daya dan akses kekuasaan tersaingi, fragmentasi dapat muncul kapan saja.

Di sisi lain, bersumber dari beberapa laporan media, juga memperlihatkan adanya kompetisi halus di internal pemerintahan antara figur seperti Dasco dan Sjafrie — keduanya dianggap sebagai orang-orang terdekat Prabowo. Ini menandakan mulai munculnya manuver menuju 2029 — di mana bayang-bayang politik Jokowi masih terasa, sementara faksi baru membentuk posisi tawar sendiri.

Situasi ini sesungguhnya menuntut Prabowo untuk melakukan redistribusi integritas dalam birokrasi — mengganti loyalitas personal menjadi loyalitas sistemik di dalam pemerintahannya. Namun langkah itu menuntut keberanian politik, sebab setiap perombakan pasti bersinggungan dengan kepentingan partai dan oligarki yang masih bercokol.

Purbaya sendiri menghadapi dilema klasik teknokrat: antara rasionalitas kebijakan dan realitas politik. Ia bisa menjadi aset besar bagi pemerintahan Prabowo bila diberi ruang untuk menata ulang ekosistem fiskal dan BUMN dengan prinsip akuntabilitas dan efisiensi. Namun sebaliknya, bila resistensi politik semakin kuat, Purbaya bisa berubah menjadi ancaman bagi harmoni kekuasaan yang rapuh.

Keberanian Prabowo melindungi dan memperkuat otoritas teknokratnya akan menjadi ukuran sejauh mana ia ingin dikenang sebagai presiden reformis, bukan sekadar pewaris stabilitas Jokowi.

Prabowo kini menghadapi ujian loyalitas: apakah ia akan lebih mendengarkan suara rasional seperti Purbaya, atau tetap mengakomodasi kepentingan lama yang membentuk jaring kekuasaannya. Banyak presiden di negara berkembang tumbang bukan karena oposisi, melainkan oleh lingkaran sendiri yang menolak perubahan. Bila reformasi fiskal dan penegakan hukum ekonomi terus dihalangi oleh kelompok yang takut kehilangan rente, maka agenda kemandirian ekonomi hanya akan menjadi retorika baru dengan wajah lama.

Namun Purbaya bukan sekadar teknokrat. Ia membawa simbol meritokrasi baru — bahwa keberanian intelektual bisa menjadi kekuatan politik. Di tengah kultur birokrasi yang sarat patronase, munculnya figur seperti Purbaya memberi harapan bahwa kebijakan berbasis data dan akal sehat masih punya tempat di republik ini.

Tetapi setiap era butuh pelindungnya. Bila Prabowo gagal menjaga ruang bagi orang-orang seperti Purbaya, sejarah hanya akan mencatatnya sebagai presiden yang membiarkan peluang reformasi hilang oleh kompromi politik.

Potensi Purbaya dalam memperkuat kredibilitas ekonomi nasional sebenarnya besar. Ia bisa menjadi simbol kebangkitan teknokrasi Indonesia pasca dua dekade dominasi politik citra. Pendekatannya yang menekankan disiplin fiskal, efisiensi BUMN, dan kemandirian industri bisa mengubah arah kebijakan ekonomi yang selama ini tersandera kepentingan jangka pendek.

Namun potensi itu hanya akan bertahan bila eksekutif dan legislatif sepakat memberi ruang bagi meritokrasi. Di sinilah dilema kekuasaan muncul: apakah Prabowo siap membangun sistem yang lebih rasional dan terbuka, atau justru terjebak dalam perangkap loyalitas yang membuat energi reformasi kembali mandek.

Pada akhirnya, ujian bagi Purbaya adalah ujian bagi seluruh struktur kekuasaan. Politik Indonesia sedang berada di ambang pergeseran besar: dari politik narasi menuju politik rasionalitas. Pertanyaannya: apakah Prabowo akan menjadi presiden transisi yang melahirkan era baru, atau sekadar pelindung bagi masa lalu yang belum selesai?

 

Penulis adalah Direktur Eksekutif Indonesia Future Studies (iNFUS) dan kandidat doktor Ilmu Politik di Universitas Padjadjaran

Jakarta, 31 Oktober 2025

 

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.